
Aku pun duduk di meja makan, mencoba menikmati hidangan yang telah disiapkan Salmah. Namun, pikiranku masih melayang pada kejadian tadi. Salmah, dengan senyumannya yang manis dan sikapnya yang ramah, membuat suasana semakin terasa hangat. Ridwan, di sisi lain, terlihat begitu santai, seolah tidak menyadari ketegangan kecil yang terjadi antara aku dan istrinya.
10446Please respect copyright.PENANA3mMM3AWX2Z
Setelah selesai makan, aku dan Ridwan kembali duduk di ruang tamu. Hujan belum juga berhenti malah makin deras mengucur dari langit.,
10446Please respect copyright.PENANA0WOfrkLXEL
"Wah, hujannya makin deras. Mas Anwar tidur saja di sini, Mas Anwar. Lagipula, sudah malam, tidak baik juga pulang dalam keadaan hujan seperti itu."
Aku mencoba memberikan berbagai alasan untuk menolak ajakan Ridwan. Aku bilang bahwa aku harus pulang karena ada urusan penting besok pagi, atau bahwa aku tidak ingin merepotkan mereka. Namun, Ridwan tetap bersikeras, dan Salmah pun menambahkan dengan senyuman manis,
"Tidur saja di sini, Mas Anwar. Kami senang ada tamu."
Akhirnya, dengan berat hati, aku menyerah. Malam ini, tidurku tidak nyenyak. Pikiranku terus melayang kepada Salmah. Bayangan tentang dirinya, senyumannya, dan kejadian kecil tadi saat dia menuangkan air minuman, terus menghantui benakku. Aku mencoba memejamkan mata, tapi bayangan itu tak kunjung hilang. Akhirnya, aku pun terlelap, dan dalam tidurku, aku bermimpi tentang Salmah. Mimpi itu begitu indah, begitu nyata, sampai-sampai aku berharap suatu hari nanti mimpi itu bisa menjadi kenyataan.
Pagi harinya, aku bangun dengan perasaan campur aduk. Aku segera mandi. Setelah mandi, aku kembali ke ruang tamu dan menemukan Ridwan sedang duduk sambil menikmati sarapan. Salmah terlihat sibuk di dapur, menyiapkan makanan untuk kami. Aku duduk di sebelah Ridwan, mencoba untuk tidak terlalu memikirkan kejadian semalam. Tapi, setiap kali Salmah melintas, hatiku berdebar-debar.
"Mas Anwar, sarapan sudah siap. Silakan dinikmati," ujar Salmah sambil meletakkan sepiring nasi dan lauk-pauk di hadapanku.
Aku mengucapkan terima kasih dan mulai menyantap makanan itu. Meskipun sarapannya enak, pikiranku masih terbagi.
10446Please respect copyright.PENANAfpAKMN5yvx
Kini, hubunganku dengan keluarga mas Ridwan menjadi makin erat. Setiap kali Ridwan tidak bekerja malam, aku pasti menyambangi rumahnya untuk makan malam bersama. Aku merasa nyaman berada di tengah-tengah keluarga kecil itu. Namun, agar tidak terus-terusan menikmati hidangan mereka tanpa memberi apa-apa, sesekali aku memberikan sejumlah wang kepada Ridwan untuk membeli lauk. Awalnya, Ridwan menolak dengan halus, tapi setelah kukatakan bahwa hubungan persahabatan kami bisa putus jika dia tidak mau menerimanya, akhirnya dia pun mengambilnya.
***
Sabtu jam 3 sore aku tiba di rumah Ridwan. Seperti biasa, kami akan mempersiapkan peralatan memancing untuk esok pagi. Rencananya, kami akan pergi ke sebuah danau yang cukup jauh dari kota, tempat yang konon memiliki ikan-ikan besar yang sulit ditangkap. Ridwan sudah menyiapkan beberapa umpan baru yang dia beli dari toko langganannya, dan aku bertugas memeriksa tali pancing serta reel yang sudah mulai usang.
“Kamu yakin umpan ini bakal manjur?” tanyaku sambil memegang umpan buatan yang berbentuk seperti ikan kecil dengan warna mencolok.
Ridwan tersenyum penuh keyakinan. “Dengar-dengar, ikan di danau itu suka banget sama umpan yang berkilau. Ini pasti bakal menarik perhatian mereka.”
Kami pun melanjutkan pekerjaan kami, sambil sesekali bercanda tentang pengalaman memancing kami yang gagal total beberapa minggu lalu. Suasana hangat dan akrab seperti ini yang membuat aku merasa nyaman bersamanya. Ridwan bukan sekadar teman, dia seperti saudara yang selalu ada di saat-saat penting.
Hampir maghrib, aku memutuskan untuk pulang. “Aku pamit dulu, ya. Nanti malam aku balik lagi, kita lanjut persiapan buat besok pagi,” kataku sambil membereskan tas yang berisi peralatan memancing.
Ridwan mengangguk. “Oke, hati-hati di jalan. Jangan lupa bawa jaket, katanya malam ini bakal dingin.”
Aku pun berangkat, meninggalkan rumah Ridwan dengan perasaan santai. Namun, di tengah perjalanan pulang aku melihat sosok familiar. Itu adalah Pak Hamid, rekan kantorku yang juga koordinator para Satpam.
“Pak Hamid?” sapaku sambil menghentikan sepeda motor yang aku kendarai. Orang yang aku sapa itu juga menghentikan motornya.
Dia menoleh, wajahnya terlihat sedikit lelah. “Oh, kamu rupanya. Mau kemana?”
“Mau pulang ke rumah tadi barusan dari rumah Ridwan. Kami habis nyiapin peralatan memancing buat besok,” jawabku. “Kalau Bapak?”
Pak Hamid menghela napas. “Aku sedang dalam perjalanan ke rumah Ridwan. Ada masalah dengan jadwal petugas Satpam malam ini. Salah satu petugasnya sakit, dan Ridwan diminta untuk menggantikannya. Tapi, aku sudah coba hubungi dia lewat ponsel, tapi nomornya tidak aktif.”
Aku mengernyit. “Ponselnya tidak aktif? Aku baru saja meninggalkan rumahnya.”
Pak Hamid mengangguk. “Mungkin baterainya habis. Tapi, aku harus segera memberitahunya. Kalau tidak, pos malam ini akan kosong.”
Setelah berbincang sejenak kamipun melanjutkan perjalanan masing-masing. Aku tersenyum dalam hati, sambil memikirkan kesempatan yang mungkin terbuka untukku. Pikiranku melayang pada Salmah, tubuhnya yang seksi, dan senyumannya yang selalu membuatku tergoda. Aku pun pulang dengan perasaan campur aduk, antara bersalah dan penuh harap.
Sesampainya di rumah, aku mulai membuat persiapan dengan hati-hati. Pikiranku sibuk merancang bagaimana cara memulai percakapan dengan Salmah, bagaimana caranya agar suasana tidak terasa canggung, dan bagaimana aku bisa membuatnya nyaman denganku. Setelah yakin bahwa Ridwan sudah pergi bekerja, aku pun bergegas menuju rumahnya.
Saat aku tiba, Salmah membuka pintu dengan ramah dan mempersilakan aku naik. Aku pura-pura bertanya,
10446Please respect copyright.PENANAjgplw1KaKN
"Assalamualaikum.”
“Waalaikusalam."
“Eh mas Anwar mari masuk!” Ucap Salmah dengan ramah.
“Mas Ridwannya ada?”Tanyaku seolah-olah aku tidak tahu bahwa dia sedang bertugas malam.
"Dia mendadak dapa tugas jaga malam menggantikan temannya yang cuti sakit," jawab Salmah dengan polos.
"Kalau begitu, biarlah saya pulang saja," kataku, mencoba bersikap sopan.
"Ah, tidak usah buru-buru. Naiklah dulu, lepas makan nanti bolehlah Mas Anwar pulang," ajak Salmah sambil melemparkan senyuman manja yang membuat hatiku berdebar.
Aku pun naik ke rumah, sambil memperhatikan langit yang sangat gelap. Tanda-tanda akan turun hujan lebat sudah terlihat. Aku berharap hujan segera turun, karena itu bisa menjadi alasan bagiku untuk berlama-lama di rumah Ridwan. Aku menuju ke dapur, ditemani oleh Salmah yang sambil menggendong Arif putranya yang baru berusia dua tahun. Rintik-rintik hujan mulai terdengar menimpa atap seng rumah Ridwan, dan aku merasa lega. Hujan yang semakin deras akan membuatku punya alasan untuk menunda kepulangan.
Bersambung
ns13.59.78.40da2