Sebuah fiksi yang dirancang oleh penulis itu sendiri. Alur yang dituangkan didalam cerita murni ide penulis. Jika ada kesamaan dalam nama, tempat hanyalah kebetulan. Dilarang keras untuk membawa perasaan terhadap kejadian yang tidak masuk akal. Selamat membaca. –M
Monica meringis ngilu ketika dokter menarik isian strapless satu persatu.
Setiap benda itu berhasil di cabut maka darah akan mengucur keluar dengan deras.
Setelah menyuntik kan sesuatu, tangannya di balut dengan perban lalu diberi resep untuk mendapatkan obat rutin.
Monica keluar dari ruangan dan mendapati Reza tengah tertidur di kursi. Monica mengernyitkan dahinya, apakah ia sangat lama didalam ruangan? Sehingga Reza ketiduran.
Ia menyentuh kaki Reza dan membuatnya terbangun.
"Sorry, gue ketiduran." Katanya berdiri.
Reza langsung mengecek tangan Monica yang sudah tertutup kasa.
"Ada berapa biji?"
"Cuma ada 4 kok." Jawabnya sembari tersenyum.
"Lu gak akan bales perlakuannya Karin?"
Monica menghembuskan napasnya. "Apa yang harus aku lakuin?" Ia balik bertanya.
"Lawan, kalo bisa lu pukul." Ujar Reza.
"Aku gak bisa setega itu."
"Bisa. Setiap manusia pasti bisa tega. Dan mungkin suatu saat nanti lu bisa setega mereka." Reza meraih tas Monica lalu memakainya di depan. Sehingga punggung dan juga bagian dada Reza ditutupi oleh ransel.
Di perjalanan pulang Reza meminta maaf atas kejadian dimana Apartemennya harus di geledah.
"Terus hp temen kamu udah ketemu?" Tanya Monica turun dari motor.
Reza menggeleng. Ia melepas helmnya lalu ikut turun dari motor.
"Gue mampir ke Apartemen lu dulu, boleh?"
Monica sejenak terdiam lalu mengangguk. Tidak enak juga jika tidak mengundang Reza untuk istirahat sebentar. Apalagi, ia sempat ketiduran tadi.
"Dimas gak gangguin lu kan disini?"
"Engga kok, Dimas dan aku sepakat buat gak saling kenal selama tetanggaan." Jelas Monica membuka pintu.
"Kayanya gue juga mau pindah ke Apartemen ini."
"Kenapa?" Monica langsung bertanya.
"Jagain lu."
"Dimas gak akan ngapa-ngapain aku kok selama disini."
Reza memberi ekspresi menyepelekan. "Otak lelaki itu gak sekosong yang lu pikirin."
"Maksud kamu?" Monica tidak mengerti dan Reza juga tidak mau menjelaskan.
Tiba-tiba saja ponsel Reza berdering.
Ia tidak menjawab, meletakkan ponsel itu dengan terbalik di atas meja. Monica memberikan minuman kaleng bersoda.
Keduanya duduk di sofa dengan canggung. Monica merasa Reza tidak seusil sebelumnya, dia agak pendiam.
"Aku mau ke toilet dulu." Monica berdiri namun Reza menarik tangannya, mendudukkan gadis itu di pangkuannya.
Jelas Monica terkejut.
Reza langsung memeluk Monica saat gadis itu hendak berdiri.
"Gue nginep disini ya malam ini."
Entah apa yang ada dipikiran Monica, gadis itu mengangguk memperbolehkan. Namun dengan syarat tidak satu kamar.
Setelah itu Reza mempersilahkan Monica untuk ke toilet.
Lelaki itu tampak bersemangat, meraih ponselnya lalu memesan beberapa hidangan makanan. Dia ingin menikmati malam yang normal.
Langit sudah semakin gelap tapi Monica masih tidak kunjung menutup jendela.
"Kamu pesen semua makanan ini?"
Perempuan berambut panjang itu terkejut ketika melihat mejanya sudah dipenuhi dengan makanan.
"Sengaja, kita Netflix & Chill ya."
Monica menyipitkan matanya curiga. "Kayaknya kamu lebih mencurigakan dari Dimas."
Reza sedikit berdesis.
"Gue gak akan ngapa-ngapain lu ko." Reza langsung sewot.
Lantas Monica tersenyum saja.
Kedua nya menikmati film dan makanan. Sampai tak terasa waktu sudah menunjukkan jam 11 malam.
"Hp kamu bunyi terus." Kata Monica menatap ponsel Reza yang sedari tadi terus berdering.
"Biarin aja, Gue lagi ngehindarin seseorang."
"Ngehindarin cewek, ya?" Tanya Monica iseng.
Reza terdiam sebentar.
"Kalo ternyata gue punya cewek, lu marah gak?"
Monica memasukkan cemilan ke dalam mulutnya.
"Marah lah."
"Karena?" Reza bertanya lagi. Ia tampak senang juga mendengar jawaban Monica yang jujur.
"Karena kamu brengsek. Punya pacar, nginep di Apartemen aku. Mending pulang aja. Iya kan yang nelponin kamu itu cewek kamu?"
"Engga kok dia bukan pacar gue. Cuma deket doang."
Sejujurnya Monica cemburu, karena bagaimana pun juga ia menyadari kalo dirinya suka pada Reza.
"Memangnya kalo pun deket ga bisa setia ya?"
"Gue mau jauhin dia kok."
Monica terkejut. "Kenapa di jauhin?"
"Karena kayanya gue mau sama lu aja."
Hening. Setelah Reza mengatakan itu kini hanya suara angin yang terdengar jelas.
Canggung benar-benar sangat canggung. Monica pergi ke kamar membawa pakaian ganti untuk Reza.
Ia memberikan piyama nya. Dan pakaian itu muat hanya saja kekecilan. Bagian kaki dan lengannya menciut. Reza memiliki postur tubuh yang tinggi bahkan sedikit lebih tinggi dari Dimas.
"Aku cuma punya itu buat kamu pake." Ucapnya sedikit menahan senyuman.
"Gak apa-apa, nyaman ko." Jawabnya yang sebenarnya Monica tahu bahwa lelaki itu tidak nyaman sama sekali karena tangannya menutupi bagian kemaluannya.
"Ya udah selamat istirahat." Monica langsung masuk ke dalam kamarnya.
Begitupun dengan Reza, dia menyandarkan tubuhnya di sofa. Meraih ponsel dan mengangkat telfon yang sedari tadi sore terus memanggil.
Di kediaman Dimas.
Ia pulang untuk sementara waktu karena takut papa nya curiga. Dan disana ia bertemu dengan Karin.
Dimas menganggap perempuan itu tak ada dimatanya. Lagi pula Karin hanyalah anak dari supir pribadi papa nya Dimas. Dia hanya menumpang dirumah ini dan gadis itu tidak bisa menempatkan diri. Berlagak seperti pemilik rumah.
Lelaki itu masuk ke dalam kamar dan langsung merebahkan tubuhnya di sofa. Menatap langit-langit kamar tanpa memikirkan apapun, awalnya. Sebelum akhirnya ia menoleh ke kanan melihat bingkai foto yang menampakkan 4 orang lelaki dan satu pria dewasa.
Dimas terlempar ke masa kecilnya, dimana ketika ia dan ke tiga temannya masih menjadi anak kecil yang polos. Mereka selalu berkumpul sore hari setelah Dimas selesai melaksanakan bimbel. Karena ke tiga temannya hanya masuk sekolah biasa tidak ada kelas privat lainnya. Mereka adalah anak lelaki yang selalu pergi bersama-sama kemanapun mereka bermain.
Pintu kamarnya di ketuk membuat Dimas tersadar dari lamunan masa lalu. Sang ibu membawakan se nampan makanan untuk di santap anaknya.
"Anak mama makin kurus aja." Ujarnya meledek.
Dimas hanya memberi reaksi datar.
"Kamar seluas ini masih kurang buat kamu?" Pertanyaan ibunya membuat Dimas mengerutkan dahi.
Beliau tersenyum sedikit cengengesan. "Mama tau kok kamu beli Apartemen dari Kansa."
Dimas melotot. "Kansa bilang ke mama?"
"Dia keceplosan waktu mama nelpon."
Dimas mendecak kesal.
"Mama gak akan bilang ke papa kok, sayang. Yang terpenting kamu gak bawa cewek kan ke sana?"
"Ya engga lah, ma~." Dimas langsung menjawab. Ia memakan makanan yang dihidangkan ibunya.
Mamanya sama seperti Dimas melihat ke arah pigura foto yang di letakkan di dalam lemari kaca.
"Gimana kabar Rezan disekolah?"
Tiba-tiba saja Dimas tidak mood.
"Berandalan aja kaya biasanya." Jawabnya malas.
"Kamu juga sama berandalan nya kaya Rezan, kan." Sang ibu mencoba untuk netral.
"Beda lah, dia tuh ikut-ikutan geng. Dimas kan engga kaya Reza." Dimas membela dirinya.
Ibu Dimas tersenyum saja ketika melihat Dimas tidak mau dibandingkan dengan Reza.
"Gimana, udah kepikiran mau masuk universitas mana?"
Dimas menggeleng pelan. "Dimas gak tau mau kuliah kemana."
"Gak apa-apa kamu masih punya banyak waktu buat mikirin itu." Tangan beliau mengelus rambut Dimas.
Dimas meletakkan mangkuknya di meja.
"Ngomong-ngomong ada kabar gak dari sekolah?"
Ibunya menatap sebentar. "Ada, papa kamu yang bakal datang ke sekolah besok."
Remaja itu terdiam sangat kesal.
"Emang gak bisa ya bapaknya sendiri yang datang?"
"Dimas, sayang. Ayahnya Karin takut jikalau anak-anak lain ngga mau berteman sama Karin karena tahu dia bukan anak berada. Gak ada salahnya kita membantu Karin."
"Papa bakal datang sebagai apa? Sebagai ayahnya? Terus kalo temen-temen Dimas liat gimana? Mereka bakal berpikir yang engga-engga. Bakal ada gossip tentang Dimas disekolah karena papa dateng buat Karin."
"Tentu hanya sebagai walinya saja. Lagi pula papa kamu bakal datang pake seragam kok. Kamu gak usah khawatir kaya gitu, Dimas."
"Ahh~ terserahlah, Dimas mau istirahat!"
Entahlah, Dimas sudah tahu isi pikiran teman-teman satu sekolahnya. Mereka sudah pasti akan bergosip jika Dimas dan Karin tinggal satu rumah. Dan pastinya akan sangat banyak rumor kebohongan yang dibesar-besarkan oleh para penggosip.
ooOoo
Reza terbangun karena dering ponselnya berdering. Suara notifikasinya berbeda, sehingga ia mengangkat telpon tersebut.
"Ya, daddy?" Suaranya berat menandakan ia baru bangun tidur.
"Rezan tidur dirumah temen." Ujarnya berjalan menuju dapur untuk minum.
"Temen cewek." Katanya lagi dengan santai.
Sontak ayahnya yang mendengar itu mau mengomel tapi Reza memotong.
"Dia tidur di kamarnya kok, Rezan tidur di sofa ini. Ngantuk banget, besok di telpon lagi."
Setelah mematikan ponsel ia mencoba untuk tidur namun tidak bisa.
Karena bosan dan tidak tahu harus melakukan apa malam-malam. Tiba-tiba saja otaknya yang kotor memberi siasat untuk Reza melakukan masturb*si. Sebisa mungkin ia menahannya.
"Anj*ng udah gila, bisa-bisanya 'kepengen' bangun tidur." Lelaki itu bergumam sendirian.
Ia meletakkan ponselnya dan benar-benar menahan agar tidak melakukan hal yang tidak senonoh di kediaman orang lain.
Belum lagi perasaannya saat melakukan hubungan badan dengan Raya masih sangat terasa oleh Reza. Dia masih terbayang-bayang oleh tubuh dan juga suara Raya.
"Sial, Za lu gak boleh kaya gini. Lu gak boleh jadi laki-laki brengsek." Kali ini Reza berkata di dalam hatinya. Semakin menahan, Reza semakin tersiksa dan benar-benar harus melakukannya.
Ia meraih ponselnya dan pergi ke dalam kamar mandi.
Siangnya disekolah, Monica dipanggil ke ruangan kepala sekolah.
Awalnya gadis itu pergi sendirian tapi Sarah dan Reza tiba-tiba mau mengantar. Sehingga Dimas semakin cemas dengan keberadaan ayahnya yang akan menjadi wali dari Karin.
Ia memperhatikan kepergian mereka. Tidak bisa di cegah dengan apapun. Dimas juga tidak mungkin mengacau karena ayahnya pasti akan marah besar jika tau Dimas berulah di depannya. Sehingga mau tak mau Dimas pasrah. Ia pergi menyusul teman-temannya untuk berlatih baseball.
Monica masuk ke dalam ruangan dan terkejut saat melihat papa nya Dimas. Mendadak jantungnya langsung terasa berdetak kencang. Ini adalah pertemuan kedua mereka.
Pertemuan pertamanya di persidangan, dimana kala itu beliau menjadi tersangka suap ayahnya. Namun papa nya Dimas tidak terbukti salah. Karena itu Dimas tidak menyukai Monica, sang papa yakni Kenta Yaza terseret kasus besar yang bahkan saat ini masih belum menemukan titik terang. Dikabarkan Denan Candra terlalu banyak melakukan korupsi dan bisnis gelap yang membuat kasusnya cukup kusut. Dan karena itu pula banyak petugas serta anggota hukum yang terkena penyuapan di kasus yang satu ini.
Pengaruh uang yang dimiliki Denan Candra berhasil membuat kasusnya semakin rumit.
Monica duduk sendirian sementara Karin ditemani oleh Kenta. Jalan utamanya adalah damai namun Kepala Sekolah kali ini tidak tinggal diam beliau memperingati Karin. Jika hal buruk seperti kemarin terjadi lagi maka Karin akan dikeluarkan.
"Kami tahu bahwa siswi Karin dan keluarga tidak berkontribusi apapun pada sekolah. Bahkan nilainya pun jelek. Maka kami akan terpaksa mengeluarkan siswi Karin, jika siswi masih bersikap jelek." Ujar Kepala Sekolah dengan tegas.
"Itu adalah keputusan yang bijak. Saya akan menerima keputusan tersebut, lagi pula saya hanya menggantikan orang tuanya. Keputusan tetap pada sekolah. Saya berterima kasih banyak karena sekolah masih mau mempertahankan Karin sampai kelulusan nanti." Tutur kata Kenta sangatlah nyaman di dengar.
Karin hanya menunduk, ia merasa malu. Karena pada akhirnya Monica mengetahui kelemahan Karin setelah Dimas. Selama 3 tahun gadis itu menyembunyikan identitasnya yang miskin. Hanya seorang anak dari supir. Bahkan Karin bisa sekolah di SMA bangsa karena bantuan dari ayahnya Dimas yang membeli bangku kelas atau Bahasa kasarnya menyuap sekolah.
Semua manusia di muka bumi ini, hipokrit.
Mereka keluar dari ruang Kepala Sekolah.
Monica mendapati Reza yang masih senantiasa menunggu di kursi koridor. Sementara keberadaan Sarah entah kemana.
Reza tampak terkejut seperti Monica saat melihat keberadaan ayahnya Dimas.
"Rezan, Udah lama gak ketemu, ya." Beliau langsung menyapa.
Reza memberi salam. "Iya, om. Om ada keperluan apa disini?" Tanyanya sengaja ingin tahu.
Monica sedikit memiringkan wajahnya. Reza begitu akrab dengan ayahnya Dimas, sementara dengan anaknya mereka seperti kucing dan anjing.
"Om baru saja mengurus kasus kecil." Jawabnya melihat pada Monica dan Reza secara bergantian.
Di ujung lorong Dimas yang mau menghampiri ayahnya tidak jadi karena melihat Reza, Monica dan juga Karin masih berkumpul.
Mendadak Kenta geram karena Dimas tidak memberi salam padanya. Sangat tidak sopan.
Kenta langsung mengalihkan pandangannya hanya pada Monica.
"Sering menjenguk ke lapas?" Tanyanya membuat tidak nyaman.
Monica hanya mengangguk saja.
"Semoga kasusnya cepat berakhir." Lanjutnya.
"Rezan, mampir-mampirlah lagi ke rumah. Tante sering menanyakan mu." Imbuhnya menyentuh pundak Reza. Lalu pergi meninggalkan ketiga siswa itu.
Tidak seperti Karin pada biasanya, ia langsung meninggalkan Monica dan juga Reza berduaan.
Hari ini dilalui cukup baik walaupun sangat banyak yang jadi pertanyaan di kepalanya Monica. Ia melamun di kantin.
Ada hubungan apa antara keluarga Dimas dan juga Karin. Lalu apakah sebenarnya Reza dan Dimas adalah teman?.
Tiba-tiba saja tangannya ditarik. Monica sangat terkejut dengan itu, bahkan tubuhnya belum siap. Ia hampir terjatuh jika seandainya tangan satunya tidak ditarik juga.
Seluruh siswa di kantin dikejutkan lagi oleh ulah Reza, Dimas dan Monica. Tangan kirinya di pegang oleh Dimas dan tangan kanannya di pegang oleh Reza. Tidak ada satu pun dari mereka yang mau melepas.
"Gue mau ngomong sama Monica." Kata Dimas dengan maksud Reza mau melepas Monica.
"Ngobrol aja disini. Bukan rahasiakan?"
"Lu gak harus tahu." Dimas menarik Monica namun Reza juga menarik gadis tersebut.
Membuat Monica meringis. Ia sudah seperti tali tambang.
"Tangan aku sakit." Ucap Monica pada Reza dan Dimas.
"Oke, gue bakal ngebiarin Monica ikut sama lu. Tapi ada hal yang mau gue tanyain dan lu harus jawab." Reza bernegosiasi.
"Gue gak ada waktu buat main-main. Keburu masuk kelas, udah mending lu lepasin Monica sekarang. Gue cuma mau ngobrol sebentar." Dimas tidak menerima negosiasinya Reza karena ia tahu apa yang akan di pertanyakan oleh lelaki itu.
Reza melepas tangan Monica sembari tersenyum jahat. Setelah itu Dimas benar-benar pergi membawa Monica.
"Kenapa bokap lu jadi perwakilan walinya Karin?" Teriak Reza berhasil membuat satu kantin keheranan.
Dimas langsung menghentikan langkah kakinya, begitupun dengan Monica. Gadis itu langsung menatap Dimas.
Monica tahu kalo Dimas sedang marah.
"Guys. Gue nemenin Monica ke ruang Kepala Sekolah. Dan di sana ada bokap nya Dimas, dia hadir untuk Karin." Senyuman Reza semakin lebar karena Dimas tersulut emosi.
Dimas menelisik para siswa yang sedang menatap ke arahnya.
"Kemungkinan pertama, Dimas dan Karin adik kaka. Atau kemungkinan kedua.... Mereka dijodohin." Reza membuat rumor. Membuat para siswa mulai memikirkan ucapannya Reza.
Benar beberapa siswa melihat keberadaan ayahnya Dimas, namun mereka tidak menyangka jika kehadirannya untuk perwakilan Karin. Karena jika tidak ada hubungan apapun, ayahnya Dimas tidak mungkin mau hadir untuk orang yang tidak bersangkutan dengan keluarganya.
"Ah mungkin ada yang lebih gila. Yaitu kemungkinan ketiga, Papa nya Dimas punya istri dua..."
Bagaikan sambaran petir, Dimas benar benar sangat marah. Ia meraih sumpit yang ada di meja kantin. Dimas hendak menghampiri Reza namun kali ini Monica yang menarik tangan Dimas.
Monica mencegah mereka untuk bertengkar, apalagi Dimas membawa sumpit. Gadis itu takut jika Dimas melukai Reza.
Namun rupanya berbeda dengan yang ada di pandangan dan juga pikirannya Reza.
Reza terkejut. Ia menjadi sangat marah ketika Monica menyentuh duluan lelaki itu. Tanpa disadari olehnya Reza langsung memukul wajah Dimas menggunakan food tray.
Dimas belum menyiapkan dirinya untuk bertarung, sehingga ia langsung terjatuh ke lantai. Bahkan sumpitnya terlempar entah kemana.
Amarah Reza melebihi kemarahan seluruh makhluk hidup yang ada di dunia ini, ia tidak suka kalo Monica memihak Dimas seperti tadi.
Namun, lagi-lagi Monica menyentuh Dimas. Gadis itu langsung membantu Dimas dan marah pada Reza.
Reza dibakar api cemburu dan kemarahan. Dia tidak suka, sangat tidak suka jika perempuan yang disukanya tidak memihak pada dirinya. Kali ini Reza menarik paksa tubuh Monica, menjauhkan gadis itu dari musuhnya. Tanpa ampun Reza langsung memukuli Dimas.
Begitupun dengan Dimas, tentu dia tidak akan tinggal diam. Walaupun ia sudah terpojok, Dimas mencari celah. Tapi Reza tidak memberi ampun sama sekali. Dia masih terus memukuli Dimas seperti orang yang kesetanan.
Terlalu parah, bahkan beberapa siswi perempuan berteriak ketakutan.
Monica menangis.
"Bangs*t." Umpatnya mencoba meraih food tray.
Dia berniat memukul wajah Dimas menggunakan besi itu, lagi. Namun, seseorang memukul kepala Reza menggunakan kursi kantin.
Kepalanya mengeluarkan darah, Reza melotot menatap Kanza yang juga gemetaran.
Itu adalah satu-satunya cara untuk memisahkan mereka berdua, karena para guru sedang melakukan rapat.
Reza sudah dirasuki. Ia hendak menyerang Kansa juga. Tapi Monica menahan. Ia langsung memeluk kaki Reza. Meminta lelaki itu untuk berhenti. Menangis, dan benar-benar memohon pada Reza untuk sadar.
Kantin benar-benar chaos. Bahkan rasanya semua siswa berkumpul di cafetaria.
Teo, meringis saat melihat darah bercucuran di wajahnya Reza dan Dimas.
Reza langsung menarik tangan Monica. Membawa perempuan itu keluar dari sekolah. Satpam yang awalnya enggan membuka karena masih jam pelajaran di buat takut saat Reza mengeluarkan pisau lipat dari saku celananya. Ia menodongkan pisau itu pada satpam. Sontak beliau membuka kan pintu.
Kansa yang masih syok pun harus memaksakan dirinya untuk menopang Dimas. Lelaki itu terkulai lemas, seolah sudah kehilangan nyawa.
Bersambung....
157Please respect copyright.PENANAWKzqltCkrn
157Please respect copyright.PENANAmagc1gmDdn
16 Oktober 2024
157Please respect copyright.PENANAQXxpOS35II