
******
Simple-Shot One :
A Wolf in Disguise
******
113Please respect copyright.PENANA27ZGoLUfYq
CAHAYA dari sebuah lampu jalan yang menerangi jalanan gelap itu terlihat mulai berbayang-bayang di mata Kyungju. Bak belum makan seharian, menderita anemia, kelelahan, atau sejenis itu; pandangan matanya tidak fokus. Kyungju yakin matanya masih berfungsi dengan baik, setidaknya hingga tadi sore, tetapi entah mengapa cahaya dari lampu itu kini terlihat blur. Memudar.
Kyungju segera memalingkan mata.
Tatkala kedua netra hitam kecoklatannya kembali menatap jalan, napasnya spontan kembali normal. Ada sebuah rasa lega yang tiba-tiba mencuat ke permukaan tatkala matanya tak lagi menatap cahaya dari lampu jalan; rasa silau agaknya membuat Kyungju refleks menahan napas, terutama saat mengetahui bahwa pandangannya mulai mengabur entah apa sebabnya.
Atau mungkin…Kyungju mulai terbiasa dengan kegelapan hingga membuatnya lebih bisa bernapas dengan lega tatkala berada di dalam kegelapan.
Jalanan itu gelap. Beberapa titik di sepanjang jalan itu memiliki lubang yang berair. Kondisi aspalnya basah akibat hujan yang melanda kota tadi sore. Namun, di sinilah Kyungju, cukup gila untuk berada di tengah jalanan sepi yang diapit oleh dua bukit. Bukit tersebut dipenuhi oleh pepohonan lebat dan sebetulnya hanya orang-orang yang mau keluar kota sajalah yang melintasi jalan tersebut. Kyungju mungkin adalah manusia gila yang berada di sana malam-malam dengan hanya berjalan kaki.
Namun, tidak. Kyungju sesungguhnya tidak mau berada di sini. Mentalnya memang sedang terguncang selama beberapa bulan terakhir, tetapi dia yakin dia belum gila. Jaketnya basah, ada bercak darah di beberapa sisinya. Kyungju mengangkat lengannya dan mulai menggeser lengan jaketnya ke atas, menampilkan lengannya yang dipenuhi dengan lebam. Gadis itu lantas menatap lebam-lebam itu dengan tatapan nanar.
“Kyungju,” panggil Jun yang sejak tadi tengah berjalan di sebelahnya. Mereka berdua berjalan perlahan, baru saja menuruni bukit penuh pepohonan tinggi yang berada di sebelah kiri mereka. Suasana malam itu terasa begitu sepi dan begitu gelap. Di langit tidak terlihat ada bintang sama sekali, hanya ada bulan sabit yang menjadi saksi dari kegilaan yang telah Kyungju alami hari ini. Suara jangkrik pun tak terdengar sama sekali.
Kyungju menurunkan lengan jaketnya kembali. Dia menatap ke depan dan melihat mobil Jun yang terparkir di sana. Mobil itu berada kurang lebih sejauh tiga puluh langkah dari posisi mereka sekarang.
“Hm?” deham Kyungju, menyahut panggilan dari Jun. Helaan napas Kyungju terdengar, caranya menyahut itu terdengar seperti orang yang sudah letih. Sangat letih. Wajahnya juga pucat.
“Mengapa kau baru meneleponku sekarang?” tanya Jun. Pemuda bertubuh tinggi yang berlesung pipi itu kemudian menggeleng. “Tidak, bukan. Mengapa kau setuju untuk menemuinya di sebuah bukit?”
Mendengar pertanyaan itu, napas Kyungju jadi sedikit tertahan. Degupan jantungnya seakan berhenti sejenak; ada sebuah pisau yang seolah menusuk jantungnya. Dadanya terasa sesak. Pedih. Tatapan matanya jadi terlihat sendu.
Menahan tangis, Kyungju pun tertunduk.
“Aku tidak tahu, Jun,” ujar Kyungju tatkala berhasil menemukan suaranya. Namun, suara yang keluar jadi terdengar sedikit bergetar. “Aku…bahkan tidak mengerti sebabnya.”
Terdengar Jun menghela napas.
“Kyungju, kau benar-benar sudah dimanipulasi,” ujar pemuda itu. “Otakmu sudah tak mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah karena Cheolmin.”
Air mata Kyungju akhirnya jatuh, tetapi Kyungju langsung mengusapnya dengan jemarinya yang tampak luka-luka. “Iya, Jun. Namun, ketika berhadapan dengannya, ketika mendengarkan kata-katadari mulutnya, mendadak aku berpikir bahwa semua yang dia katakan itu benar.”
“Itulah yang dinamakan manipulasi, Kyungju,” ujar Jun. “Kau dikendalikan. Dipengaruhi. Pikiranmu jadi kacau. Kau jadi membenarkan seluruh tindakan semena-mena yang dia lakukan, termasuk menyiksamu, menipumu, berselingkuh darimu, memeras uangmu, danbahkan mengajakmu ke sebuah bukit yang sepi untuk menjadikanmu sebagai objek dari fantasi seksualnya yang gila.”
Kyungju diam seribu bahasa. Dia sadar seratus persen bahwa Jun telah menyelamatkannya hari ini. Hal itu bisa terjadi karena Jun adalah salah satu teman Cheolmin; Jun mengenal Cheolmin dengan baik. Oleh karena itulah, Cheolmin membiarkan Jun ikut campur.
Jun adalah satu-satunya teman Cheolmin yang pada akhirnya juga jadi berteman dengan Kyungju. Dia adalah pemuda yang sangat pintar, sangat objektif, tetapi juga sangat baik dalam memberikan atensi kepada orang-orang yang membutuhkan. Dia juga merupakan seorang pengamat yang baik.
Melihat Kyungju yang hanya menangis, Jun pun melanjutkan, “Mengapa kau baru meneleponku disaat kau sudah terluka parah?”
Kyungju menggeleng. “Aku takut…padanya. Aku juga harus mencari momen yang tepat.”
“Sedikit lebih lama lagi dan kau akan dipaksanya untuk bersetubuh di tengah-tengah bukit itu,” timpal Jun. “atau mungkin kau akan dibuat lebih mengenaskan lagi sampai dia benar-benar terangsang dan menyetubuhimu sambil menyiksamu di sana hingga kau meninggal, lalu dia akan mengubur jasadmu di bukit itu.”
Perkataan Jun yang frontal itu kontan membuat napas Kyungju terhenti sejenak. Seluruh tubuhnya menegang. Seolah ada yang memukul jantungnya dengan keras, membuatnya sesak dan tak mampu bereaksi apa-apa. Dia tertegun, lalu kontan air matanya jatuh semakin deras.
“Maafkan aku,” ujar Kyungju pelan, suaranya sedikit tenggelam karena isakan tangisnya. “Maaf. Aku tidak tahu harus bagaimana, Jun... Aku merasa seperti berada…di neraka…”
Tatapan Kyungju pun jatuh ke bawah, ke arah kedua kakinya yang masih berbalut sepatu kets. Sepatu itu sangat kotor, kaus kakinya juga berantakan. Penampilannya saat ini terlihat begitu menyedihkan. Begitu kacau. Kedua kakinya terasa mulai bergetar seolah selembut jelly. Menangis membuat seluruh tubuhnya nyaris tak sanggup melakukan apa-apa. Kyungju hanya mampu berpikir:
Mengapa ini semua terjadi kepadanya?
Apakah dia pernah melakukan dosa besar yang tidak ia ketahui atau tidak ia ingat?
Yang ia lakukan selama ini hanyalah hidup dengan baik, lurus-lurus saja…hingga pada suatu hari ia jatuh cinta.
Apakah jatuh cinta itu…terasa seperti neraka tanpa akhir seperti ini?
Kata orang, jatuh cinta itu indah. Membuatmu bahagia.
Namun, mengapa yang Kyungju rasakan justru sebaliknya?
Ia bahkan hampir mati.
113Please respect copyright.PENANAwqJGD8kXa3
“Terima kasih, ya, Jun,” ucap Kyungju pada akhirnya. Ia pun menghapus air matanya, mencoba untuk mengatur napasnya agar kembali normal. Ia mulai menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Setengah mati mencoba untuk tenang, setidaknya untuk sekarang.
Jangan hancur dulu. Jangan roboh ke tanah dulu. Jangan dulu menangis sesenggukan hingga tubuh gemetar. Jangan di sini.
Tahan sebentar. Sebentar saja.
Ayo pulang terlebih dahulu dan tumpahkan semuanya di rumah saja. Di dalam kamar mandi. Di sana, menangislah dengan kencang, robohkanlah semua pertahanan yang ada.
“Terima kasih karena telah menyelamatkanku,” lanjut Kyungju. “Aku berutang budi padamu, Jun… Terima kasih, ya.”
Jun menggeleng. Mereka berjalan dengan sangat pelan, tetapi mobil Jun tampak sudah dekat. “Tidak perlu. Aku justru kesal karena kau baru menghubungiku ketika kau sudah terluka parah.”
Kyungju pun tersenyum tipis. Lemah sekali. “Kau adalah orang yang baik.”
Untuk sejenak, Jun mengerutkan dahinya. Alisnya naik sebelah. “Aku bukan orang yang baik, Kyungju.”
“Setidaknya bagiku kau adalah orang yang baik,” kata Kyungju.
Jun memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana jeans hitamnya yang sobek di bagian lutut, lalu bernapas samar. “Tidak bagiku.”
Mendengar Jun yang teguh pada pendiriannya, Kyungju pun menoleh ke arah pemuda itu sejenak, lalu tersenyum. Tatkala Kyungju melihat ke depan kembali, satu pertanyaan pun lolos dari mulut Kyungju.
“Memangnya kejahatan apa yang sudah kau lakukan?”
Jun memiringkan kepalanya; ia mengerutkan dahinya lagi karena berpikir. “Hmm…biar kuingat. Aku pernah memakai narkoba.”
Mendengar itu, Kyungju hanya mengangguk mengerti. Dia sebetulnya tidak heran. Jun satu circle dengan Cheolmin.
Melihat Kyungju yang hanya mengangguk seolah memahaminya, Jun pun tertawa pelan. Agak menggeleng karena sedikit merasa geli. “Why? Kau anggap itu hal yang biasa?”
Kyungju menatap Jun sejenak, lalu ia kembali memandangi jalan aspal yang ada di bawahnya. Kyungju pun tersenyum; senyuman Kyungju itu tampak tulus. Kedua kelopak matanya turun, tatapannya jadi sarat akan kesenduan.
“Setidaknya kau tidak melakukan hal yang gila pada perempuan…seperti apa yang Cheolmin lakukan padaku, Jun…” ungkap Kyungju. Ia terdengar begitu nelangsa. Begitu sakit. Beberapa bulan berpacaran dengan Cheolmin sukses membuatnya nyaris gila. Ia nyaris kehilangan segalanya, termasuk kesehatan fisik dan mentalnya. Dia sudah pernah berpikir ingin mati saja daripada terus-menerus diperlakukan seperti ini oleh seorang laki-laki. Dibuat ketakutan setiap harinya, dibuat merasakan sakit hati setiap harinya… Ini neraka yang bersembunyi di balik kata ‘cinta’.
Namun, tiba-tiba Kyungju mendengar langkah Jun terhenti. Kyungju yang menyadari hal itu pun jadi sedikit melebarkan mata. Gadis itu mengangkat kepalanya, memandang lurus ke depan dan mendapati mobil Jun yang jaraknya tinggal empat langkah lagi. Setelah itu, barulah dia menoleh ke samping kanannya, ke arah Jun yang mendadak berhenti melangkah.
Malam ini Jun memakai kaus dan jeans yang berwarna hitam, tetapi ada sebuah kemeja kotak-kotak berwarna ungu yang terikat di pinggangnya. Dia memakai sepatu olahraga berwarna putih; rambut dirty blonde-nya yang pendek itu tertata rapi. Tubuhnya proporsional. Akan tetapi, kini tatapan matanya terlihat berbeda.
Secara perlahan, senyuman Jun terbit. Bibirnya membentuk senyuman tipis, tetapi manis. Senyuman itu entah mengapa sukses mengirimkan sebuah kejanggalan di benak Kyungju. Mata pemuda itu menatap Kyungju lurus-lurus, lalu pelan-pelan kelopak mata pemuda itu mulai setengah tertutup seolah ikut tersenyum.
“Kyungju,” panggil Jun. Suaranya terdengar begitu dalam. Di malam yang gelap dan sepi itu, suaranya terdengar seolah bergema. Itu panggilan biasa, tetapi entah mengapa terdengar mencekam. Kyungju tanpa sadar mengerutkan dahinya; mata Kyungju melebar dan ia menahan napas. Kakinya terasa kaku. Ia merasa seakan-akan tengah berada di depan seekor hewan buas, padahal yang ada di depannya saat ini hanyalah Jun. Temannya. Orang yang sudah menyelamatkannya dari kematian.
Jun pun tertunduk sejenak dan terkekeh. Ia melakukan itu seraya mengusap leher bagian belakangnya, seolah ada yang membuatnya heran bercampur gemas, geli, dan sebagainya. Setelah itu, Jun menatap Kyungju lagi. Namun, kali ini dia tersenyum dengan ramah. Senyuman yang biasa ia berikan pada Kyungju. Senyuman itu tidak terasa janggal. Jun telah berdiri dengan tegap dan menatap Kyungju dengan tatapan biasanya.
Namun, entah mengapa Kyungju merasa bahwa ini belum berakhir.
Dua detik kemudian, Jun pun memiringkan kepalanya. Dengan tatapan dan senyuman yang masih sama, Jun pun mulai bersuara kembali.
113Please respect copyright.PENANAOj5pLsrpWH
“Lebih baik kau tidak berpikiran seperti itu,”ucapnya pada Kyungju. “karena aku juga mampu melakukan hal yang sama dengan apa yang Cheolmin lakukan padamu, Kyungju-ya.” []
113Please respect copyright.PENANA8alSrGg772