Sejak saat itu, aku hanya terus menutupi fakta tersebut. 2 tahun pun berlalu, terasa sangat cepat. Entah apa yang akan dipikirkan semua orang terdekat Kaisa jika fakta itu tersebar. Aku masih menyimpan sepasang sendal putih itu, tak pernah kupakai lagi sejak saat itu hingga aku membeli sendal baru.
Aku tidak berani untuk jujur tentang kematian Kaisa.
Mungkin jujur sama sekali bukan bakatku.
"Arsa, makan malam yuk?" Zidan, teman kamarku mengajakku untuk makan malam didapur.
Aku mengangguk mengiyakan. Segera mengambil sendal jepit hijau (benar-benar milikku). Zidan pun mengikutiku dibelakang.
"Eh Sa, udah liat daftar panitia kedatangan belum? ada nama ente" Ucap Zidan.
"Oh ya?"
"Beberapa dari kita yang kelas 9 disuruh jadi panitia kedatangan besok. Santri yang baru-baru besok pada datang, kita bantuin tuh registrasi segala macem. Ane juga panitia kok"
Aku sama sekali belum melihat daftar itu. Baru tahu bahwa aku juga dipilih jadi panitia kedatangan santri baru.
Kami pun tiba didapur, mengantri untuk mengambil lauk makanan dengan tertib.
"Oh iya, ingat Kaisa gak Sa?"
Aku seketika terdiam membeku.
Seperti paham akan situasi, Zidan langsung mengubah topik. Dia tahu bahwa Kaisa sahabatku dikelas 7. Hanya itu yang ia ketahui. Ia tidak tahu kalau aku yang membunuh Kaisa.
Makan malam hari ini rendang, sama seperti waktu itu. Semua ingatan masa lalu itu seakan berbayang-bayang dipikiranku entah dari mana.
"Sa?"
"Ah iya.."
"Gapapa kan?" Zidan merasa ada yang aneh padaku.
Aku menggeleng. Tidak apa-apa kok
"Ente SMA nanti masih lanjut di pondok ini lagi ga Sa?" Tanya Zidan mengubah topik
"Lulus masih 2 semester lagi Dan, aku lagi gamau mikirin itu dulu"
Makan malam pun berlalu dengan sangat cepat. Kami pun segera bersiap ke masjid untuk shalat Isya berjamaah. Setelah shalat, santri yang terpilih sebagai panitia kedatangan menetap di masjid untuk di briefing mengenai kepanitiaan besok.
Malam pun berlalu cepat. Malam itu tidak ada peristiwa ghosob sendal ataupun Kaisa yang kembali muncul dipikiranku. Setelah briefing, kami pun segera balik ke asrama untuk persiapan tidur.
Aku tidak lupa mengecek sendal putih Kaisa yang kusembunyikan 2 tahun belakangan ini didalam lemari. Masih bersih, tak pernah dipakai lagi sejak hari itu. Kusembunyikan karena takut ada yang menemukannya.
Waktu itu, begitu mengetahui Kaisa yang sebelum kejadian itu kehilangan sendal, al-akh bagian kebersihan segera mengecek semua sendal santri. Aku segera menyembunyikannya di lemari, cukup mengaku aku juga kehilangan sendal malam itu dan berujung di hukum karena tidak memiliki sendal.
Tapi setidaknya, sepasang sendal putih itu masih tersembunyi.
Maafkan aku, Kaisa. Aku tidak berani untuk jujur.
Mungkin pikiran ku akan lebih baik setelah tidur. Ku simpan lagi sepasang sendal putih milik Kaisa dengan tersembunyi di lemariku dan segera tidur.
Keesokan paginya hari kedatangan pun tiba.
Aku ditugaskan di meja registrasi santri, mendaftar nama-nama santri yang telah datang. Banyak santri dan wali nya yang berkeliaran, berfoto-foto ria, dan bahkan ada yang menangis.
Semuanya berjalan lancar hingga orang itu duduk di hadapanku.
Aku segera membeku, sekujur badanku tidak bisa bergerak sama sekali.
"Nama nya siapa?" tanya Zidan disampingku yang juga bertugas sebagai pelayan di meja registrasi
"Kaisa."
***
440Please respect copyright.PENANAdcIeDSnPqU