(CHAPTER 0) DERMAWAN TIADA BEBAN
Menaruh balok plastik warna oranye, lubang pintu telah dimasukkan, aku memutar kunci. Hidungku menarik udara sedalam – dalamnya, lalu dihempaskan dengan keharmonisan.
Berkecumik sejenak, mantra penghapus kesialan…
“Biuh! Open Sesame!” Mulutku meniup angin sihir bercampur debu fantasi sedikit membasahi telapak tanganku.
Kubuka dengan penuh kehati – hatian. Langkah kaki spontan, terangkat menghindari batang mengkilat terlihat mahal. Satu halangan terlewatkan, rasanya lega, sejenak merasa aman.
Namun…
Langkah berikutnya sekejap. Aku bagai menggunakan sepatu roda. Tanpa pegangan, tanganku hanya dilambaikan secara acak, menjaga keseimbangan. Meski…
Bruk!
Dengan akhiran… Gedabruk!
Pandanganku berasa naik roller coaster. Sejenak aku merasa seperti David Beckham dengan saltonya. Alih – alih mendengar kemeriahan tepuk tangan, aku mendengar rintihan menyakitkan. Butuh dua menit setidaknya untuk bangkit dari kesialan.
Untung tidak sampai membuatku pingsan. Jatuh posisi tengkurap memang menyebalkan. Apalagi lantai marmer bukanlah medan empuk. Aku bisa merasakan dahi, dada, perut hingga lutut ngilu minta ampun.
Lekas kuangkat tubuh ini dan mencari benda yang membuatku terjun bebas, jungkir balik. Rasanya yang menjegalku tadi bukanlah mesin penyedot debu ini.
Mataku tertuju pada tempat gelap dan butuh usaha untuk menjangkaunya, kolong sofa.
Terlihat tiga biji pil merah muda pucat berserakan.
“Kamu lagi, kamu lagi!” Ucapku kecewa.
Pipiku bersalaman mesra dengan pinggiran sofa, sementara lenganku meraih sambil menggerayangi seluruh kolong gelap sampai tiga kali.
Setelah terambil, kumasukkan lagi pil itu ke dalam rumahnya. Namun dari botol itu, terdengar suara gemelotak agak menggema. Mataku segera menelisik isinya.
“Blimey! (Astaga!) sudah habis?” spontan menggeleng kecewa, aku bahkan lupa kalau seharusnya hari ini ke psikiater. Tanganku segera mengusir debu yang mengontrak di sekitar baju, kemudian mencuci dengan air kran.
Alisku bersalaman, rasanya ada yang kurang, “Ah! Balok plastik kuning!” langkahku lekas mengambilnya.
Kutaruh dengan hati – hati di kolong meja TV. Mendongak sejenak pada pintu jaring kotak - kotak, wajahku tersenyum hangat. Kulepaskan pengait pintu kecil balok plastik itu.
Senter langit menembakkan sinar oranye di balik tirai jendela dekat pintu kamar mandi, angin musim gugur menembus sela – sela lengan jaket. Segera menyadarkanku untuk lekas pergi. Setelah menyibakkan tirai, aku tidak lupa menyalakan lampu -lampu ruangan.
Hal terakhir yang tentu tidak akan pernah terlupakan. Mengisi mangkuk lantai dengan benda lembek yang tak seorang pun mau.
“Sampai jumpa, Nona Chernyy! Aku akan kembali nanti malam, sayang,” ucapku sambil menutup pintu dengan pelan. Kupastikan itu terkunci.
Aku menuruni tangga yang keramiknya sedang berdemo tidak karuan. Saling tumpang tindih, retak, dan bahkan kabur entah kemana. Cat putih tembok yang obsolet, bahkan nama apartemen “Eksdale Lodge” pada lisplang yang menggantung penuh resah. Antara betah atau harus jatuh lalu patah.
Berhenti sejenak, mendongak resah pada gedung kelas ekonomi yang empat tahun direnovasi sekali, sejak pertama kalinya kutinggali. Aku tidak bisa berharap banyak lagi, menyewa tidak berarti menetap sampai tua keladi. Cukup huni dengan layak adalah yang utama, tetangga boleh nomor dua.
Dua kamar, dua tempat tidur yang masing – masing bisa untuk dua orang, kamar mandi bershower dan ada tub untuk berendam air hangat. Dapur kecil, sisa ruangan untuk sofa dan televisi layar datar serta listrik yang memadai tambah nikmat. Lagipula listrik jauh lebih penting mengingat aku punya komputer, daripada hanya fasad.
Dari sebuah kota kontemporer yang ditempati kerumunan necis, London, aku terpental jauh ke Darlington, hampir tepinya inggris. Lebih tepatnya dekat dengan Scotland, meski kadang membuatku meringis.
Langkahku kemudian menjejakkan ke paving yang sama bikin geleng kepala. Aku curiga, apa jangan – jangan lantai yang hilang entah kemana berdemo di paving ini?
Masih melewati beberapa blok, lalu berlok ke kanan. Usang begini, tempatnya strategis dan nyaman. Walaupun sepi layaknya kuburan, eh, maksudnya pedesaan, paling tidak dekat peradaban. Tidak terlalu ramai orang, namun masih kawasan perkotaan.
Well, mungkin aku sedikit merindukan gongongan anjing yang setiap pagi menjadi alarm alami tempatku dulu menetap, flat london yang cukup elit. Inginnya marah, namun mataku terhipnotis saat melihat dua drum hitam yang saling berdentum erotis tak berbunyi. Nona Erica, selalu minta maaf tiap hari kupasang roman muka heran. Gadis manis tak pernah kumarahi, apalagi hewan yang bertindak naluri.
Ada kalanya terdengar sirine di tengah malam. Dari kaca jendela menyapaku. Tepat di sebrang gedung flat kubertempat, polisi membungkus sebelum terpasangnya garis kuning. Katanya, wanita yang seatap satu tingkat diatasku, melompat indah dengan lelah. Lantai lima, sekitar lima puluh kaki.
Atau kadang ponsel yang menyita banyak perhatian, alas bantal sehingga kubanting tanpa keraguan atas lelahnya rutinitas pekerjaan, terdengan suara bikin penasaran. Muda – mudi, bertindak sesuka hati penuh kedongkolan. Kecupan diiringi bunyi menyeruput layaknya sedotan, penuh kenikmatan, masih mendingan.
Lebih parahnya telingaku disentil dengan lantang. Seperti mengetuk dinding yang lunak, gesekan berulang pada tempat sempit, dihiasi desahan kian meradang. Seonggok jiwa yang belum matang. Mereka takut atas pertanggung jawaban, daripada kata kebobolan, aku berterus terang.
Meskipun begitu, bukan berarti Darlington lebih baik daripada London. Bertemu dengan tiang lampu lalu lintas dan zebra cross, di perempatan sudah disambut oleh beberapa gang kecil di tiap jalan yang dipilih.
Lampu kini berganti merah. Dari arah yang lurus dariku, bandana merah mengencangkan langkahnya sambil menggengam sesuatu ala pemain rugby.
“Minggir!” manik matanya tajam alarm peringatan padaku.
Di belakangnya, tampak baju kantor putih gradasi biru langit, tak mau kalah langkah, bak singa mengejar mangsanya. Daripada kata meminta pertolongan, aku lebih tertuju pada baju kantor itu.
Aku tidak mengerti mengapa harus ada lomba lari di tengah mobil kiri kanan berjejer menunggu bergantinya warna lampu? Sebagai garis finish, tentu aku menghindar.
Mereka bahkan melewatiku begitu saja. Well, bukan berarti bila kusambut dengan meriah si pemenang, maka itu berakhir baik. Keburukuan selalu berakhir buruk, tapi kebaikan kadang berakhir baik. Tidak akan terulang sampai empat kali. Lagipula itu hanya tas yang menaikkan gengsi.
Lampu – lampu mobil menyala terang berkedip sambil mesinnya digeber meriah dan bersamaan saat aku melintasi zebra cross dengan tenang. Kupikir dibalik kaca hitam mereka ada hal yang menarik ditonton meski kurang berkenan. Bahkan ada juga yang membunyikan klakson, tanda kekecewaan. Telingaku sengaja mengedap,kakiku menyeberang tuntas tanpa beban.
Belokan gang kecil pertama kumasuki. Kutundukkan kepala menghindari pandangan mereka, mataku menelisik pada tiap – tiap pemuda yang berkumpul dan minum – minum bak kegirangan. Dua pemukul baseball, sebilah pisau, dan satu glock 17 yang dibawa pria berjas hitam licin rambutnya. Semakin menjauh, semakin panjang ritme jantungku berdetak.
Kurang lebih sekitar dua kilometer, yaitu sebanyak delapan perempatan gang kecil harus dilewati. Biasanya orang menyebutnya blok perempatan. Salah bila berpikir pada umumnya gang sempit gelap. Well, itu tidak sepenuhnya. Tapi memang tidak semua lubang tikus got punya lampu berkelip.
Misalnya di blok gang perempatan pertama dan kedua. Tikar – tikar digelar, baju lusuh, berjejeran dan seringkali terdengar gencringan dalam tiap jejak. Saku celana jeans hitamku selalu dipenuhi harapan mereka. Dua ratus pounds koin.
Ada juga yang memaparkan kanvas digores keringat bau cat bernilai sentimental. Kedua matanya berlinang tanpa mengedip, tangan kurus otot kecil dengan lemah gemulainya, walaupun perut cekung wajah penuh nestapa. Selalu kusempatkan mampir sekedar bicara.
“Apa kali ini? Bersantai di bawah gemerlap berlian dinding langit?” kupegang salah satu karya Tn. Jenkins.
Ia sejenak buyar dari fokusnya, matanya tajam melirik perlahan. Menyadari rupaku, bisa jadi satu – satunya pelanggan setiap bulan, bibirnya tersenyum lebar. Responnya memang begitu, lamban.
“T-t-tuan Penn! Oh Tuan Penn! Sungguh bersyukur! Sungguh bersyukur!” ia memegangi janggut keritingnya, matanya mengkilat sesaat. “Stars speak to me! Sa-saya mencoba men… men….” matanya diputar ke arah lain dengan bingung.
Begitulah, Tn Jenkins, kadang ia mengatakan sesuatu lalu pikirannya sesaat tidak sinkron. Kepalanya mendongak ke langit.
“Menyetarakan?”
“Menyelaraskan seperti yang anda bilang, bulan lalu. Anda bilang sesuatu… seperti… mistis, praktis, pragmatis…” kepalanya mendongak menyapa langit lagi.
“Melankolis?” Aku menimpali.
“Ah, ya! Melankolis!”
Bila harus berterus terang, empat tahun semenjak pindah, satu kamarku sempat terisi penuh lukisan yang Tn. Jenkins jual dengan harga murah. Tidak semuanya rongsokan. Walaupun semua itu tidak laku saat kupasang di situs penjualan online. Empat kanvas sejauh ini terpasang di dua kamar, masing – masing dua.
Ada lukisan hutan bertemakan fantasi, desa para kelinci dan rutinitasnya yang unik. Ada juga, “Gimmick”, potret segerombolan orang duduk di kereta memakai topeng senyum.
Ada juga gambaran dunia kucing ala cyberpunks. Masa depan bila kucing yang menguasai bumi? Sampai yang berbau horor. Dominan hitam dan warna merah gelap, sebuah Asylum yang bahkan tak terpikirkan sekalipun olehku untuk bertempat. Tn. Jenkins memang hebat menyajikan berbagai warna genre untuk kupilih.
Selain yang kusebutkan, sisanya membosankan. Namun yang satu itu, Stars speak to me, benar – benar cocok. Padang rumput yang ditemani muara sungai, seorang pria bersandar menyapa bintang – bintang. Segera ku merogoh dompet.
Dua kali lipat pun tidak masalah. Mata mereka, para gelandangan yang sudah kulalui, memperhatikan kami. Bahkan Tn. Jenkins meneguk ludahnya, matanya sedikit berkunang – kunang.
Tidak ada yang memberatkan pundak atau lenganku menyerahkan 600 pounds. Dua orang berpakaian lusuh membantu membungkus kanvas itu. Mereka juga membuat tali simpul, agar lebih mudah kubawa dengan punggungku.
“Tn. Penn, semoga anda diberkati kesehatan!” mereka bersujud syukur dengan gembira. Suara meriah dari para jelata hingga dua blok penuh itu. Well, mereka saling tolong menolong. Tidak ada lagi yang bisa kupersembahkan selain senyuman puasku membantu mereka. Mereka melompat – lompat kecil.
Menjejak hampir sampai di blok tiga, suara teriakan syukurnya masih menjangkau, “Akhirnya makan roti!” Semakin diulang, kedua mataku tenggelam dalam air haru entah dari mana asalnya.
Sederhana saja, kenapa harus repot – repot? Dua hal. Nenekku selalu bilang berbuat baiklah pada siapapun, terutama yang paling nestapa. Kedua, menyewa bodyguard terlalu mahal.
Sebuah lubang hitam umum isu perkotaan, mengendap banyak kehidupan yang bisa jadi menelan kehidupan lainnya. Bila mobil sirine yang umum terdengar tidak menjagamu dua puluh empat jam? Siapa yang melindungiku dari tikus lubang – lubang selokan?
Tikus – tikus selokan yang kau pelihara. 457Please respect copyright.PENANANZXknukkpz