
Chapter 2
1025Please respect copyright.PENANAFTnjUtIWGa
Di asrama samawa sendiri kini ada beberapa penghuni yang masih tinggal disana baik penghuni lama maupun penghuni baru. Ukhti Nurlia atau yang akrab di panggil ukhti lia dan ukhti aisyah adalah dua penghuni lama yang masih tinggal di asrama samawa.
Ukhti lia sendiri masih berstatus sebagai seorang mahasiswa tingkat akhir, sementara ukhti aisyah sendiri kini sedang menjalani jenjang S2 nya di kampus yang sama dengan ukhti lia.
Kamar kedua nya yang bersebelahan dan memang mereka sudah tinggal lama di asrama samawa membuat keduanya sangat dekat, hampir tidak ada lagi rahasia diantara mereka berdua.
Keduanya juga menjadi orang yang paling di hormati oleh para penghuni lain terutama penghuni baru, bahkan keduanya seolah menjadi panutan dan menjadi pembimbing bagi para penghuni lain.
Setiap sehabis waktu shalat berjamaah yang memang di wajibkan untuk seluruh penghuni, kajian akan selalu dilakukan, dan pemateri nya kalau tidak ustadzah aminah pasti ukhti lia atau ukhti aisyah.
V
V
V
Ustadzah aminah sendiri memiliki suami bernama ustadz zakir dan anak laki laki satu satunya bernama Ali, namun keduanya kini sudah berpulang ke rahmatullah.
Anak dan suami ustadzah aminah beberapa bulan lalu, dengan penuh keyakinan mereka berangkat menuju timur tengah menjadi sukarelawan di daerah konflik disana.
Namun naas bagi mereka, di hari kedua mereka menjadi sukarelawan, wilayah dimana mereka menjadi sukarelawan dihujani bom oleh tentara penindas, dan mereka menjadi dua diantara ratusan bahkan ribuan korban.
Ustadzah Aminah menerima kabar itu dengan ketegaran yang luar biasa. Kehilangan suaminya ustad karim sebenar nya tidak terlalu membuatnya sedih, apalagi ketika ustadza zakir memutuskan untuk berpoligami, dan dia lebih banyak berada di tempat istri keduanya.
Karena memang sebenarnya ada rasa kurang ikhlas di hati ustadzah aminah ketika ustadz zakir mengutarakan niat nya untuk berpoligami, atapi karena di dalam ajaran agamanya yang memperbolehkan laki laki untuk memiliki lebih dari satu istri, maka dia memperbolehkan suaminya untuk menikah lagi.
Namun hubungan yang begitu dekat dengan anaknya ali bahkan hubungan yang melebihi antara ibu dan anak, menjadikan rasa kehilangan itu membuat hatinya terasa kosong, namun ia tahu bahwa takdir adalah bagian dari ujian hidup yang harus diterima dengan sabar dan tawakkal.
Setiap malam, di kamarnya yang luas dan sederhana, ia duduk berdoa dengan penuh harapan, memohon kekuatan untuk terus melanjutkan hidup, terutama untuk para penghuni asrama yang kini sangat bergantung padanya.
Benar, bergantung pada ustadzah aminah, karena asrama samawa bukan seperti kos kosan atau asrama lain pada umumnya yang bertujuan untuk mencari keuntungan dari penghuninya.
Asrama samawa lebih ke ”program sosial dan amal” bagi para mahasiswi yang berasal dari golongan kurang mampu dan yatim piatu, oleh karena itulah asrama samawa menyediakan makan 2 kali sehari bagi para penghuni nya tanpa dipungut biaya sepeserpun untuk itu.
Walaupun memang ada nilai pembayaran bulanan dari sewa kamar, tapi itu sangat kecil nilainya, dan dari jumlah itu sama sekali tidak bisa menutupi biaya operasional asrama samawa setiap bulan nya.
Asrama samawa memang sering mendapat bantuan dari para donatur, entah dari kerabat ustadza zakir, ustadzah aminah, atau bahkan kader partai dimana ustadzah aminah bernaung selama ini.
Kehilangan yang mendalam itu tak membuatnya patah semangat. Justru, ia semakin tekun menjalankan amanah di Asrama Samawa, meskipun ada rasa sepi yang datang menyergap setiap kali ia teringat tentang keluarga kecil yang dulu selalu ada di sampingnya.
Namun, setiap kali melihat para mahasiswi muda yang tinggal di asrama itu, ia merasa bahwa hidupnya masih memiliki tujuan. Mereka adalah anak anak yang perlu bimbingan, yang membutuhkan seorang ”ibu” yang kuat.
Ustadzah Aminah mengingat kembali kata-kata suaminya sebelum keberangkatan mereka ke timur tengah. "Jaga mereka baik-baik, Sayang. Mereka butuh bimbingan kita." Kata kata itu menjadi pegangan hidupnya, dan ia bertekad untuk memenuhi janji tersebut, meskipun suaminya telah tiada.
Ukhti Lia dan Ukhti Aisyah, yang telah mengenalnya lama, selalu berusaha memberikan dukungan dan pengertian. Mereka tahu betul, meski Ustadzah Aminah tampak tegar, ada kesedihan yang mendalam di balik senyumannya. Mereka berdua selalu berusaha hadir, menemani setiap langkah Ustadzah Aminah, baik dalam pengajaran agama maupun dalam peran sosial yang ia jalani di asrama.
Pada suatu malam setelah kajian, saat penghuni asrama duduk melingkar di aula, Ustadzah Aminah berdiri dengan hati yang lebih ringan. Ia tahu, meskipun hidupnya tak lagi utuh seperti dulu, ia masih memiliki keluarga baru di asrama ini.
"Saya ingin kalian tahu," katanya dengan suara yang lembut, namun penuh ketegasan.
"Hidup kita di dunia ini hanya sementara, namun ilmu dan amal yang kita tanamkan akan terus mengalir meskipun kita sudah tiada. Jadilah seperti pohon yang tumbuh memberikan manfaat, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk orang lain. Memberikan kesenangan kepada orang lain adalah bagian dari ibadah."
Mata para mahasiswi yang mendengarkan ucapan itu terlihat bersinar, penuh rasa hormat dan cinta. Mereka tahu, Ustadzah Aminah bukan hanya seorang pemimpin di asrama ini, melainkan juga seorang ibu, yang meski kehilangan segala galanya, tetap berdiri kokoh dengan penuh cinta untuk membimbing mereka.
1025Please respect copyright.PENANAFdBVu5i7hl
1025Please respect copyright.PENANAbhMMfEUel7
bersambung
ns3.17.59.199da2