
Siang itu, matahari Jakarta sedang terik-teriknya, bikin udara di luar terasa seperti oven. Rendi, dengan kaus oblong dan celana jeans yang sudah sedikit lusuh, melangkah keluar dari angkot menuju apartemen Tante Dian. Mereka janjian untuk membahas rencana syuting konten OnlyFans yang Dian usulkan sebelumnya. Meski masih ragu, Rendi merasa nggak enak menolak, apalagi dia tahu tante-nya sedang butuh dukungan—dan, jujur saja, dia sendiri juga butuh pemasukan.
Saat pintu apartemen dibuka, Dian menyambut dengan senyum lebar yang penuh kehangatan. “Ren, masuk! Panas banget di luar, ya,” katanya, suaranya ceria sambil memeluk Rendi sekilas. Tapi begitu Rendi melangkah masuk, dia langsung kaku. Hari itu, karena panas yang menyengat, Dian memakai pakaian yang benar-benar ultra minim: crop top ketat yang cuma menutupi sebagian perutnya dan celana pendek denim yang nyaris nggak bisa disebut celana. Tali bra merahnya menyembul di bahu, dan setiap langkah Dian membuat payudaranya yang montok bergoyang, seolah menantang Rendi untuk nggak melirik. Udara di apartemen memang sejuk karena AC, tapi pemandangan di depan Rendi justru bikin dia berkeringat.
“Eh, Tan... apa kabar?” Rendi berusaha membuka obrolan, suaranya sedikit serak. Dia buru-buru mengalihkan pandangan ke dinding, pura-pura tertarik sama poster lama FTV yang tergantung di sana. Wajahnya mulai memerah, jantungan sedikit kencang.
Dian terkekeh, jelas tahu efek yang dia ciptakan. “Kabar baik, Ren! Ayo, duduk. Panas banget, kan? Makanya aku pakai gini, biar nggak gerah,” katanya santai sambil melenggang ke sofa, gerakannya ringan tapi penuh percaya diri. Dia menepuk bantal di sebelahnya, mengajak Rendi duduk. “Minum apa? Cola dingin ada di kulkas.”
Rendi mengangguk kaku, berjalan ke sofa dengan langkah hati-hati, seolah lantai bisa jeblos kapan saja. “Cola aja, Tan,” jawabnya, berusaha fokus pada apa pun selain penampilan Dian. Dia duduk di ujung sofa, menjaga jarak aman, tangannya sibuk memegang lutut sendiri biar nggak kelihatan gelisah.
Dian kembali dengan dua kaleng cola dingin, menyerahkan satu ke Rendi sambil duduk lebih dekat dari yang Rendi harapkan. Kakinya sedikit bersentuhan dengan Rendi, membuat cowok itu makin salah tingkah. “Jadi, Ren,” Dian mulai, matanya berkilat penuh semangat, “aku udah pikir-pikir. Konten kita harus mulai secepatnya. Aku butuh kamu buat rekam, mungkin juga ikut muncul sedikit biar lebih... hidup. Gimana, siap?”
Rendi meneguk colanya cepat-cepat, hampir tersedak. “M-muncul? Maksudnya gimana, Tan?” tanyanya, suaranya sedikit naik karena gugup. Matanya nggak sengaja melirik ke arah Dian, dan dia buru-buru menunduk lagi, wajahnya makin panas.
Dian tersenyum lebar, kayak guru yang sabar jelasin ke murid. “Tenang, Ren. Bukan yang aneh-aneh. Kayak, misalnya, kamu lewat di belakang aku pas syuting, atau pegang sesuatu—entah gelas, entah apa—buat bikin suasana lebih natural. Aku nggak mau konten yang kaku.” Dia mencondongkan badan sedikit, membuat crop top-nya makin ketat, dan Rendi merasa udara di ruangan tiba-tiba lenyap. “Tapi, Ren, kalau kita mau kerja bareng, kamu harus biasa sama ini,” lanjut Dian, tangannya menunjuk ke pakaiannya sendiri. “Aku bakal sering pakai baju gini, atau... mungkin lebih minim. Ini kan panas, dan ini yang laku. Jadi, nikmati aja, anggap latihan biar nggak grogi.”
“Nikmati?” Rendi mengulang kata itu pelan, suaranya hampir nggak kedengeran. Dia mencengkeram kaleng cola sampai bunyi krusuk. Otaknya berputar kencang—ini Tante Dian, keluarganya, tapi kenapa rasanya dia kayak diseret ke dunia yang sama sekali asing? “Tan, nggak aneh gitu? Aku... aku kan keponakanmu,” katanya, berusaha nyari alasan tapi suaranya kedengeran lelet.
Dian tertawa lagi, kali ini lebih lembut, hampir kayak menenangkan. “Ya Tuhan, Ren, santai dong. Ini cuma kerja. Kita bikin konten, kayak aku dulu syuting FTV, cuma beda platform. Kamu nggak perlu mikir macem-macem.” Dia menepuk pundak Rendi, jari-jarinya sedikit lama nempel di sana. “Lagipula, kita atur batasan. Aku nggak mau bikin kamu nggak nyaman. Tapi kalau kamu grogi tiap lihat aku begini, nanti susah syutingnya, kan?”
Rendi cuma bisa mengangguk pelan, nggak yakin apa yang dia setujui. “Iya, Tan... mungkin aku cuma perlu biasa,” katanya, lebih buat meyakinkan diri sendiri. Dia meneguk cola lagi, berharap dinginnya bisa nyebabin otaknya yang panas.834Please respect copyright.PENANAMS3LBM0ysJ
----------------------834Please respect copyright.PENANAJsYIvmVZeh
Tante Dian tiba-tiba bergeser lebih dekat, membuat jarak di antara mereka hampir lenyap. Dia duduk berhadapan dengan Rendi, lututnya nyaris menyentuh lutut cowok itu. Crop top-nya makin ketat, memperlihatkan lekuk payudaranya yang montok dengan kulit mulus yang berkilau samar karena sedikit keringat. Rendi menelan ludah, matanya nggak sengaja melirik ke arah dada Dian sebelum buru-buru dialihkan ke kaleng cola di tangannya.
“Ren, kita ngobrol serius dulu, deh,” kata Dian, suaranya lembut tapi ada nada tegas di dalamnya. Dia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, membuat pemandangan di depan Rendi semakin... sulit diabaikan. “Kalau kita mau bikin konten yang laku, aku harus tahu apa yang orang suka. Termasuk kamu.” Dia berhenti sejenak, matanya menatap Rendi dengan tajam tapi penuh rasa ingin tahu. “Kamu kalau nonton bokep, biasanya nyari apa?”
Pertanyaan itu jatuh seperti petir di siang bolong. Rendi hampir menjatuhkan kaleng colanya, wajahnya langsung merah padam. “Hah? T-Tan, ngapain nanya gitu?” katanya, suaranya serak, separuh panik separuh malu. Dia menggeser badan sedikit ke belakang, tapi sofa nggak memberi banyak ruang untuk kabur.
Dian terkekeh, tapi nggak mundur. Malah dia mendekat lagi, sikutnya bertumpu di sandaran sofa, membuat posisinya semakin dekat dengan Rendi. “Aduh, Ren, jangan polos gitu. Kita mau bisnis bareng, kan? Aku perlu tahu selera pasar. Kamu cowok, pasti tahu apa yang bikin orang betah nonton. Ayo, ceritain ke aku,” katanya, nada suaranya setengah menggoda, setengah menuntut. “Jangan malu, anggap aja aku temen, bukan tante.”
Rendi menunduk, jantungannya kencang. Dia tahu nggak ada jalan keluar dari pertanyaan ini, apalagi dengan Dian yang menatapnya seperti elang. Setelah tarik napas dalam-dalam, dia akhirnya buka suara, pelan dan terbata-bata. “Ehm... aku biasanya suka... konten JOI, gitu. Jerk off instruction. Terus... POV, kayak ngentot atau blowjob. Kadang juga yang mainin dildo, pura-pura jadi... entah, kontol penonton, gitu. Sama... konten joget-joget binal, kayak di TikTok, tapi pakaiannya minim banget.”
Dian mengangguk pelan, bibirnya membentuk senyum tipis, tapi matanya penuh konsentrasi, kayak sedang mencatat setiap kata. “Hmm, menarik,” katanya, suaranya rendah. Dia bergeser lagi, kali ini benar-benar berhadapan, lututnya menyentuh paha Rendi. Kulit payudaranya yang mulus makin jelas di bawah crop top yang nyaris transparan karena keringat tipis. “Ceritain lebih rinci, Ren. JOI itu kayak apa yang kamu suka? POV-nya? Aku mau paham bener-bener biar kita bisa bikin sesuatu yang pas.”
Rendi merasa wajahnya membakar. Dia menunduk, tangannya mencengkeram kaleng cola sampai bunyi krusuk. “Tan, serius nanya gini?” gumamnya, berharap Dian bakal ketawa dan bilang itu cuma bercanda. Tapi Dian cuma menatapnya, alisnya terangkat sedikit, menunggu.
“Iya, serius. Aku nggak main-main soal ini,” kata Dian, nadanya tetap lembut tapi tegas. “Kalau kita mau sukses, aku harus tahu apa yang bikin orang nggak bisa berhenti nonton. Jadi, ceritain. JOI yang kamu suka itu kayak apa? POV-nya? Dildo-nya? Jogetnya?”
Rendi menghela napas, menyerah. Dia tahu Dian nggak bakal mundur. Dengan suara yang hampir nggak kedengeran, dia mulai bicara, masih menunduk. “JOI... aku suka yang pelan-pelan, kayak ceweknya ngomong langsung ke kamera, ngasih instruksi dengan suara lembut tapi... tegas, gitu. Kadang ada countdown, bikin deg-degan. Kalau POV, yang bikin suka itu kalau kameranya bener-bener kayak mata penonton, apalagi kalau... ehm, blowjob-nya detail, kayak beneran deket. Dildo-nya, biasanya yang bikin seru kalau ceweknya akting seolah-olah itu... beneran, pura-pura ngerasain penonton. Real gitu, nggak lebay. Kalau joget, aku suka yang gerakannya sensual, nggak cuma asal goyang, tapi bajunya bener-bener minim—seperti... kayak yang kamu pakai sekarang, tapi mungkin lebih... terbuka.”
Dia berhenti, nggak berani angkat muka. Hening sejenak, dan Rendi cuma bisa dengar detak jantungnya sendiri. Dia takut Dian bakal ketawa atau malah marah. Tapi saat dia akhirnya melirik ke atas, Dian cuma tersenyum, angguk-angguk kecil kayak sedang mencerna. “Oke, Ren. Jelas,” katanya, suaranya kalem. Dia bersandar ke belakang, tapi posisinya masih dekat, crop top-nya masih bikin Rendi susah fokus. “Aku suka kejujuranmu. Itu tadi membantu banget. Kayaknya aku bisa bikin sesuatu dari ide-ide itu.”
Rendi cuma bisa mengangguk, tenggorokannya kering. “I-iya, Tan,” katanya pelan, berharap obrolan ini segera selesai. Tapi Dian nggak buru-buru bangun. Dia menatap Rendi lama, senyumnya sedikit nakal tapi ada rasa sayang di matanya, kayak tante yang bangga sama keponakannya—meski situasinya jauh dari biasa.
--------------------
Dian mencondongkan tubuh lebih dekat lagi, wajahnya sekarang hanya berjarak beberapa inci dari wajah Rendi. Matanya menatap tajam, tapi ada sedikit gugup di dalamnya, seolah dia juga merasakan ketegangan di antara mereka. Suaranya pelan, hampir seperti bisikan, tapi ada nada serius di dalamnya. “Ren... boleh nggak tante tanya sesuatu? Cewek yang bikin kamu... ehm, sange, atau artis bokep yang bikin kamu suka, itu kayak apa sih? Boleh kasih tahu tante? Tante butuh referensi buat konten OnlyFans kita nanti. Jawab yang jelas, ya.”
Pertanyaan itu seperti bom yang meledak di kepala Rendi. Wajahnya langsung memerah, jantungannya berdetak kencang. Dia membuka mulut, tapi nggak ada kata yang keluar. “T-Tan, apaan sih... nanya gitu,” gumamnya, suaranya serak, berusaha mencari jalan keluar. Tapi Dian nggak mundur. Matanya terkunci pada Rendi, menuntut jawaban.
“Aduh, Ren, jangan gitu. Kita kan mau kerja bareng. Tante cuma mau tahu apa yang laku, apa yang bikin orang... tertarik. Kamu cowok, pasti tahu, kan? Ceritain, tante nggak bakal marah,” kata Dian, suaranya lembut tapi ada tekanan halus di dalamnya. Dia sedikit menggigit bibir, mungkin tanpa sengaja, tapi itu cuma bikin Rendi makin gelagapan.
Rendi menunduk, menatap kaleng cola di tangannya seolah itu bisa menyelamatkannya. Otaknya berputar, mencari jawaban yang aman, tapi pikirannya malah blank. Akhirnya, dengan suara yang hampir nggak kedengeran, dia berkata, “Ehm... wanita yang... yang lebih tua. Yang seksi... kayak... kayak Tante.”
Hening sesaat. Rendi nggak berani angkat muka, takut lihat reaksi Dian. Tapi dia bisa merasakan tatapan tante-nya, seperti sedang menimbang setiap kata yang baru saja keluar dari mulutnya. “Oh... kayak tante, ya?” kata Dian pelan, nadanya sulit ditebak—setengah kaget, setengah penasaran. “Ceritain dong, Ren. Yang mana dari tante yang kamu suka? Biar tante tahu apa yang harus ditonjolin nanti.”
Rendi merasa seperti diseret ke jurang. Dia menelan ludah, wajahnya panas, tangannya gemetar sedikit. “Ya... semua, Tan,” katanya tergagap, suaranya canggung. “Maksudku... Tante kan... cantik. Badannya... bagus. Kulitnya mulus, terus... ehm, matanya itu, loh, yang... yang genit gitu. Rambutnya juga, yang panjang sama hitam. Pokoknya... ya, gitu deh, Tante seksi banget.”
Dia berhenti, nggak tahu harus lanjut apa lagi. Rasanya seperti dia baru saja menggali kuburnya sendiri. Dia mencuri pandang ke arah Dian, takut tante-nya bakal marah atau ketawa mengejek. Tapi Dian cuma menatapnya, senyum tipis muncul di bibirnya. “Hmm... menarik,” katanya, suaranya rendah, hampir seperti berpikir keras. Dia bersandar ke belakang sedikit, tapi posisinya masih dekat, crop top-nya masih menonjolkan lekuk tubuhnya yang bikin Rendi susah fokus.
“Jadi, kamu suka yang lebih tua, yang kayak tante gini?” lanjut Dian, nadanya sekarang sedikit lebih santai, tapi masih ada rasa ingin tahu di matanya. “Oke, Ren. Jujur banget, ya. Itu bantu banget buat tante. Kayaknya aku tahu apa yang harus aku coba buat konten kita.”
--------------------------
Dian, yang baru saja mencondongkan tubuh begitu dekat untuk bertanya, kini kembali ke posisi semula, bersandar ke sofa dengan santai. Tiba-tiba, dia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, meregangkan badan karena pegal setelah menunduk lama.
Tanpa sengaja, gerakan itu membuat crop top ketatnya terangkat sedikit, memperlihatkan perutnya yang rata dan pusarnya yang kecil dengan kulit mulus berkilau samar karena keringat tipis. Payudaranya yang besar bergoyang lembut karena gerakan tangannya, hampir seperti menari di balik kain tipis crop top itu. Tali bra merahnya masih menyembul, menambah pemandangan yang bikin Rendi susah menahan diri untuk nggak melirik. Dia buru-buru memalingkan muka, tapi terlambat—gambar itu sudah terlanjur membekas di kepalanya.
Dian menurunkan tangannya, nggak sadar—orang mungkin pura-pura nggak sadar—efek gerakannya tadi. Dia menatap Rendi lagi, senyum tipis masih menghias bibirnya. “Ren,” katanya, suaranya lembut tapi penuh rasa ingin tahu, “tante penasaran, nih. Tante kan lebih tua dari kamu, ya. Kenapa kamu bilang tante seksi tadi? Apa sih yang bikin kamu mikir gitu? Ceritain dong, biar tante tahu apa yang harus ditonjolin buat konten nanti.”
Pertanyaan itu seperti tusukan kedua di hati Rendi. Dia hampir tersedak, wajahnya makin panas, jantungannya berdetak kencang. “T-Tan, serius nanya lagi?” gumamnya, suaranya serak, berharap Dian cuma bercanda. Tapi Dian cuma memandangnya, alisnya sedikit terangkat, menunggu dengan sabar. Matanya seperti berkata, “Kamu nggak bisa kabur, Ren.”
Rendi menunduk, menatap kaleng cola di tangannya seolah itu penutup lubang pelarian. Tapi dia tahu nggak ada jalan keluar. Setelah tarik napas dalam-dalam, dia akhirnya buka suara, suaranya pelan dan tergagap. “Ya... Tante kan... badannya bagus banget. Maksudku... ehm, payudaranya... itu, loh, besar sama... kelihatan penuh gitu. Terus lehernya, putih banget, mulus, kayak... entah, elegan gitu. Pinggulnya juga, Tan, besar sama berisi, bikin... ehm, seksi. Sama pahanya, ya Tuhan, mulus banget, montok, kayak... kayak nggak ada cacatnya.”
Dia berhenti, nggak berani lanjut. Rasanya seperti dia baru saja mengaku dosa di depan tante-nya sendiri. Tangan Rendi gemetar sedikit, kaleng cola di tangannya bunyi krusuk karena dicengkeram terlalu kencang. Dia takut banget Dian bakal marah atau malah ketawa mengejek. Tapi saat dia akhirnya memberanikan diri melirik ke atas, Dian cuma menatapnya dengan senyum kecil, angguk-angguk pelan seperti sedang mencatat setiap kata di kepalanya.
“Hmm... detail banget, ya, Ren,” kata Dian, suaranya rendah, setengah kagum setengah menggoda. Dia menyandarkan badan ke sofa lagi, tapi posisinya masih dekat, crop top-nya masih menonjolkan lekuk payudaranya yang tadi sempat bergoyang. “Jadi, payudara, leher, pinggul, sama paha, ya? Noted. Kayaknya tante tahu apa yang harus ditonjolin nanti buat syuting.”
Rendi cuma bisa mengangguk, tenggorokannya kering. “I-iya, Tan,” katanya pelan, berusaha menjaga suaranya agar nggak terdengar makin canggung. Dia meneguk sisa cola, meski rasanya sudah nggak enak lagi. Otaknya masih berputar, malu tapi juga bingung kenapa dia sampai sejujur itu.
Dian bangkit dari sofa, gerakannya pelan dan penuh percaya diri seperti biasa. Celana pendeknya sedikit naik saat dia berjalan ke meja kecil untuk ambil ponselnya, dan Rendi buru-buru memalingkan muka. “Besok jam 10, ya, Ren. Tante udah punya bayangan buat konten kita. Kamu bawa kamera yang bagus itu, jangan lupa,” katanya sambil ngetik sesuatu di ponsel, senyumnya masih menggantung di bibir.
Rendi bangun dari sofa, kakinya terasa lelet. “Iya, Tan. Jam 10,” jawabnya, suaranya datar karena otaknya masih penuh dengan apa yang baru saja terjadi. Dia melangkah ke pintu, kepalanya berputar-putar dengan campuran malu, gugup, dan sesuatu yang bikin dadanya sesak. Saat pintu ditutup, dia berdiri sejenak di koridor apartemen, udara panas Jakarta menyelinap masuk, tapi entah kenapa, dia merasa lebih gerah dari tadi. Besok, dia tahu, bakal jadi hari yang jauh lebih rumit dari apa yang dia bayangkan.
-------------------
Sore itu, Rendi akhirnya sampai di rumah setelah perjalanan dari apartemen Tante Dian yang terasa penuh dengan ketegangan. Rumahnya, sebuah rumah sederhana di pinggiran Jakarta, terasa lebih pengap dari biasanya karena panas sore yang masih menyengat. Dia menutup pintu depan dengan pelan, berharap bisa langsung masuk kamar tanpa banyak obrolan. Tapi begitu melepas sepatu, suara ibunya, Bu Sari, sudah terdengar dari ruang tengah.
“Rendi? Kamu dari mana? Kok lama, nak?” tanya Bu Sari, muncul dari dapur sambil membawa nampan berisi teh hangat dan pisang goreng. Wajahnya penuh perhatian, tapi ada rasa ingin tahu yang nggak bisa disembunyikan. “Udah makan belum? Ini ada pisang goreng, ambil, ya.”
Rendi menghela napas pelan, tahu kalau ibunya nggak bakal berhenti nanya sampai dapat jawaban. Dia meletakkan tasnya di sofa dan duduk, badannya masih terasa lelet karena pikirannya penuh dengan obrolan tadi sama Tante Dian—pertanyaan-pertanyaan yang bikin jantungan, penampilan Dian yang nggak bisa dilupain, dan rencana syuting besok. “Baru dari tempat Tante Dian, Ma,” katanya, berusaha terdengar santai sambil mengambil sepotong pisang goreng. “Tante ajak... usaha bareng, gitu.”
Bu Sari langsung tersenyum lebar, matanya berbinar. “Tante Dian! Ya Tuhan, udah lama Mama nggak ketemu dia. Dia sehat, kan? Cantik seperti dulu nggak?” katanya, duduk di sebelah Rendi dengan penuh semangat. Tante Dian memang selalu jadi favorit di keluarga, apalagi karena masa lalunya sebagai bintang FTV yang bikin semua orang kagum. “Syukur deh, Ren, kamu akhirnya punya rencana. Mama seneng banget dengernya. Biar nggak cuma di rumah terus. Emang usaha apa?”
Rendi langsung kaku. Pertanyaan itu seperti jebakan yang nggak bisa dia hindarin. Dia mengunyah pisang goreng pelan-pelan, berusaha nyari waktu buat mikir. Apa yang bisa dia bilang? Bahwa dia bakal bantu Tante Dian bikin konten buat OnlyFans? Bahwa dia mungkin bakal pegang kamera buat video-video yang... jauh dari biasa? Rendi nggak mungkin jujur, tapi otaknya juga nggak bisa nyari alasan yang mulus.
“Ehm... usaha konten, Ma,” katanya akhirnya, suaranya pelan dan tergagap. Dia menunduk, pura-pura sibuk sama pisang goreng di tangannya. “Kayak... bikin video gitu. Tante Dian mau coba bisnis online, aku bantu ngerekam, edit, gitu.”
“Konten? Kayak YouTube, ya? Atau TikTok?” Bu Sari terdengar antusias, tangannya menepuk paha Rendi pelan. “Bagus, Ren! Tante Dian kan tahu caranya bikin orang suka nonton. Kamu belajar banyak sama dia, ya. Nanti kalau udah sukses, traktir Mama makan di restoran, hehe.”
Rendi memaksa senyum, meski dadanya terasa sesak. “Iya, Ma. Pasti,” jawabnya, berusaha nutupin kegugupannya. Dia bisa bayangin wajah ibunya yang bakal berubah kalau tahu “konten” yang dia maksud bukan video masak atau dance challenge, tapi sesuatu yang bikin Rendi sendiri masih bingung nerima. Dia meneguk teh hangat yang disediakan ibunya, berharap itu bisa nenangin pikirannya.
“Pokoknya, Mama doain kamu sukses, ya, Ren,” lanjut Bu Sari, suaranya penuh kehangatan. “Kasih kabar ke Tante Dian, bilang Mama kangen. Suruh mampir ke rumah kapan-kapan, biar kita ngobrol bareng. Udah lama nggak ketemu.”
“Iya, Ma. Nanti aku bilang,” kata Rendi, suaranya datar. Dia bangun dari sofa, bilang mau ke kamar buat istirahat, meski sebenarnya cuma pengen kabur dari obrolan yang bikin dia makin nggak enak hati. Di kamarnya yang kecil, dia ambruk ke kasur, menatap plafon sambil dengar suara ibunya yang masih nyanyi-nyanyi pelan di dapur.
Rendi buka laptop tuanya, niatnya cuma cek aplikasi edit video buat persiapan besok. Tapi pikirannya nggak bisa fokus. Ibunya begitu senang, begitu bangga, tapi Rendi nggak bisa nggak merasa bersalah. Dia nggak bohong, tapi juga nggak jujur sepenuhnya. Usaha bareng Tante Dian? Ya, mungkin. Tapi usaha kayak apa yang dia masuki, Rendi sendiri nggak yakin bisa hadapi. Besok, dia harus bawa kamera dan nyali untuk apa pun yang Tante Dian rencanakan, tapi malam ini, dia cuma bisa terdiam, ditemani suara kipas angin dan beban pikiran yang makin berat.
------------------------834Please respect copyright.PENANA4RdNLTDZ0j
Rendi duduk di kamarnya, pintu terkunci rapat biar ibunya nggak tiba-tiba masuk. Setelah obrolan sore tadi dengan Bu Sari, pikirannya masih kacau. Dia nggak bisa tidur, jantungannya masih berdegup kencang setiap kali inget pertemuan dengan Tante Dian—penampilannya yang bikin susah lupa, pertanyaan-pertanyaan yang bikin dia gelagapan, dan rencana syuting besok yang bikin dia nggak tahu harus bereaksi apa. Untuk mengalihkan pikiran, dia buka ponsel dan tanpa sadar masuk ke Instagram, langsung cari akun Tante Dian.
Akun IG Tante Dian punya 500 ribu follower, angka yang bikin Rendi sedikit kagum. “Gila, setengah juta,” gumamnya sendiri, jarinya menggulir halaman itu pelan-pelan. Dia tahu Tante Dian dulu terkenal, tapi lihat angka itu bikin dia sadar nama tante-nya masih punya daya tarik. “Dengan follower segini, apa pun yang kita bikin pasti bakal laku keras,” pikirnya, separuh optimis, separuh takut. Nama Dian yang dulu bikin orang terpukau di FTV sepertinya masih punya magnet, dan Rendi nggak bisa nggak mikir kalau usaha OnlyFans ini mungkin bakal jauh lebih besar dari yang dia bayangkan.
Dia mulai buka satu per satu foto di akun itu. Ada foto Dian tersenyum lebar di kafe estetik, memegang secangkir kopi dengan gaun flowy yang bikin dia kelihatan anggun. Ada foto dia di luar kota, berdiri di tepi sawah dengan topi lebar, kayak artis iklan pariwisata. Lalu ada foto di luar negeri—entah Bali atau Maldives—Dian pakai dress backless, berdiri di tepi kolam renang dengan latar matahari terbenam. Yang paling bikin Rendi menahan napas adalah foto di pantai: Dian pakai bikini merah, rambutnya basah, kulitnya berkilau di bawah matahari, dan senyumnya seolah tahu kamera nggak bisa berpaling darinya. “Cantik banget,” gumam Rendi, nggak sengaja keras-keras, langsung panik takut ibunya dengar.
Tapi di balik kekaguman, pikiran Rendi melayang ke tempat lain. Wanita cantik ini, tante-nya sendiri, yang belum menikah dan masih punya aura bintang, sekarang mau bikin konten nakal di OnlyFans. Konten yang, kalau kata Dian, bakal “menjual fantasi”. Rendi nggak bisa nggak mikir: foto-foto ini, yang sekarang cuma bikin orang like dan komen “Mbak Dian masih glowing!”, bakal diganti dengan sesuatu yang jauh lebih berani. Sesuatu yang, seperti kata Dian, bakal bikin orang “betah nonton”. Rendi menelan ludah, dadanya sesak. “Ini bakal jadi bahan onani orang-orang di internet,” pikirnya, dan pikiran itu bikin dia merasa campur aduk—antara ngeri, canggung, dan sesuatu yang dia nggak mau akui.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Notifikasi WhatsApp dari Tante Dian. “Besok jangan lupa ya, Ren, kita syuting. Jam 10, bawa kamera yang bagus. Tante udah siapin semuanya!” tulisnya, diakhiri emoticon wajah cium dan api. Rendi menatap pesan itu lama, jarinya membeku di atas layar. Dia mau bales, tapi nggak tahu harus bilang apa. Akhirnya, dia cuma ketik, “Iya, Tan. Jam 10,” dan buru-buru matiin ponsel, seolah itu bisa matiin pikirannya juga.
Rendi berdiri, berjalan ke meja kecil di sudut kamar, dan buka tasnya untuk cek kamera DSLR bekas yang dia punya sejak kuliah. Dia tahu besok bakal jadi langkah besar—atau mungkin langkah yang salah—tapi dia sudah terlanjur bilang iya. Di luar kamar, suara ibunya terdengar samar, lagi nyanyi pelan sambil nyapu. Rendi menutup mata, mencoba bayangin besok cuma hari biasa, cuma kerja biasa. Tapi dalam hati, dia tahu: apa pun yang Tante Dian rencanakan, itu nggak bakal biasa sama sekali.
834Please respect copyright.PENANAC112Cp66mL
TO BE CONTINUED
834Please respect copyright.PENANAww7RxaEVvh
834Please respect copyright.PENANAgeUa8bL7Du