Tante Dian, 36 tahun, adalah sosok yang dulu begitu bersinar di layar kaca. Wajahnya yang cantik dan aktingnya yang memikat pernah membuatnya jadi idola FTV di era 2000-an. Namun, waktu bergulir, dan sorotan lampu panggung mulai meredup. Tawaran peran semakin jarang, digantikan oleh wajah-wajah baru yang bermunculan. Belum menikah dan tinggal sendiri di apartemen sederhana di pinggiran Jakarta, Dian merasa hidupnya perlu sesuatu yang baru—sesuatu yang bisa mengembalikan percikan semangatnya, sekaligus menutupi kebutuhan finansial yang kian menipis.
Di sisi lain, ada Rendi, keponakannya yang berusia 25 tahun. Rendi baru saja lulus kuliah dengan gelar komunikasi, tapi dunia kerja belum membuka pintu lebar untuknya. Puluhan lamaran sudah dikirim, tapi hanya penolakan atau harapan kosong yang kembali. Rendi sering mampir ke apartemen Tante Dian, kadang sekadar mengobrol atau membantu urusan kecil seperti memperbaiki lampu atau mengantar belanjaan. Bagi Rendi, Tante Dian bukan hanya keluarga, tapi juga figur yang dulu begitu memesona di televisi—seseorang yang selalu punya cerita menarik.
Suatu malam, saat mereka duduk di sofa sambil menikmati mi instan, Dian membuka percakapan yang tak biasa. “Ren, kamu tahu OnlyFans, kan?” tanyanya, nada suaranya setengah bercanda tapi ada serius di matanya. Rendi, yang sedang menyeruput kuah mi, hampir tersedak. “Eh, yang buat konten... apa itu, Tante?” jawabnya kikuk, pura-pura tak paham meski dia tahu persis platform itu.
Dian tertawa kecil, lalu menjelaskan idenya. Dia ingin mencoba membuat konten di OnlyFans—bukan sekadar foto seksi, tapi sesuatu yang lebih berani, yang bisa menarik perhatian dan, tentu saja, menghasilkan uang. “Tapi aku nggak mau sembarangan,” katanya. “Aku butuh seseorang yang bisa dipercaya buat bantu rekam, edit, mungkin juga ikut muncul sebagai... cameo. Kamu kan ngerti kamera, Ren. Gimana, mau bantu tante nggak?”
Rendi terdiam. Otaknya berputar kencang. Di satu sisi, dia merasa aneh—ini Tante Dian, keluarganya sendiri, yang bicara soal konten dewasa. Di sisi lain, dia tahu keadaan tante-nya sedang sulit, dan dia sendiri juga butuh penghasilan. Setelah menimbang, dia akhirnya mengangguk, meski dengan nada ragu. “Tapi... nggak aneh gitu, Tan? Aku keponakanmu.”
Dian mengangguk, memahami kekhawatiran Rendi. “Kita atur batasan, Ren. Kamu cuma bantu syuting, mungkin kadang muncul sebentar, tapi nggak akan kelewatan. Aku juga nggak mau bikin yang terlalu vulgar. Lebih ke... teasing, gitu. Kita jual fantasi, bukan yang murahan.”
Mulai saat itulah Rendi membuat konten-konten dewasa bersama tantenya.