
Aku duduk di teras rumah, menyeruput kopi sore dengan pandangan yang tak henti-hentinya melirik ke rumah sebelah. Rumah itu kini kosong. Sepi. Hanya keheningan yang tersisa, tanpa suara tawa anak-anak atau langkah lembut sang pemiliknya.
Inara pergi hari ini. Aku tahu itu.
Istriku yang memberi tahu, tanpa menyadari betapa berharganya informasi itu bagiku. “Bu Inara katanya pergi ke luar kota beberapa hari, anak-anaknya ikut. Tadi aku lihat sopir datang jemput mereka. Tolong bantu lihat2in rumahnya katanya.”
Aku hanya mengangguk, berpura-pura tidak terlalu peduli, padahal dalam hatiku, aku tahu inilah saatnya.
Aku telah menunggu kesempatan ini. Semua sudah kurencanakan dengan matang. Tidak ada ruang untuk kesalahan.
Dulu, saat pertama kali Inara pindahan, aku sempat membantunya mengangkat beberapa barang ke dalam rumahnya. Saat itu, aku melihat gantungan kecil di dekat dapur yang berisi beberapa kunci serep. Aku tahu rumah baru sering kali masih dalam tahap penyesuaian, kadang pemiliknya sendiri belum hapal di mana menyimpan barang-barang penting.
Jadi, tanpa disadari siapa pun, aku mengambil satu kunci cadangan itu.
Aku tak langsung bertindak gegabah. Tidak. Aku menunggu waktu yang tepat untuk menggandakannya. Kemudian, ketika aku yakin semua berjalan tanpa kecurigaan, aku mengembalikan kunci asli itu dengan cara yang seolah-olah alami—menjatuhkannya di area sekitar rumahnya. Dengan begitu, jika sewaktu-waktu dia menyadari kunci itu hilang, dia akan menemukannya kembali dan mengira hanya terjatuh atau terselip.
Sempurna.
Kini, dengan rumah yang kosong, aku bisa menjalankan rencanaku. Aku berjalan santai, seolah hanya sekadar menikmati udara sore. Tidak ada seorang pun yang akan menyangka apa yang kulakukan. Dengan tenang, aku memasukkan kunci itu ke dalam lubang kunci. Sekali putar, klik. Pintu terbuka dengan mudah.
Aku melangkah masuk. Aroma rumahnya menyeruak—wangi yang khas, wangi seorang wanita muslimah yang begitu anggun. Semuanya tertata rapi, elegan, dengan sentuhan Islami yang menenangkan. Di salah satu sudut rumah ini ada rak penuh buku agama, kaligrafi yang menghiasi dinding, juga sebuah ruang kecil yang digunakan untuk salat dan mengaji.
Sebuah rumah yang begitu suci.
Dan aku, berdiri di dalamnya, membawa niat yang sama sekali tidak suci.
Tidak butuh waktu lama bagiku untuk menemukan perangkat kecil yang menjadi tujuan utamaku. CCTV rumah ini terpasang di beberapa sudut strategis—teras, ruang tamu, dapur, garasi, dan halaman belakang. Aku sudah mempelajarinya sejak lama, mengamati sudut-sudut yang bisa menjadi celah bagi seseorang untuk masuk tanpa ketahuan.
Perlahan, aku mengganti satu per satu perangkat CCTV dengan yang sudah kupersiapkan. Bentuknya sama persis, tidak ada yang berbeda. Lampu indikatornya pun menyala dengan cara yang sama. Bedanya? Kini semua rekaman yang ditangkap tidak hanya tersimpan di sistem rumahnya, tapi juga terkoneksi langsung dengan perangkat pribadiku.
Aku tidak sebodoh itu untuk memasang CCTV di tempat yang bisa menimbulkan kecurigaan. Tidak ada yang akan kupasang di kamar tidur atau kamar mandi. Inara tidak pernah memasang kamera di sana, dan kalau tiba-tiba ada yang muncul, dia pasti sadar. Yah… setidaknya sekarang aku bisa mengawasi keadaan di dalam rumahnya.
Tapi tetap saja, ada yang kurang.
Aku ingin melihat lebih dari sekadar ruang tamu atau dapur. Kamar mandi… pastinya sangat menarik. Memasang CCTV kecil? Terlalu berisiko. Lagipula, tidak ada yang lebih memuaskan daripada melihatnya secara langsung. Jadi, aku memutuskan untuk membuat lubang kecil—hanya sebesar ujung jari, cukup untuk satu mata mengintip.
Cutter, bor kecil, dan sedikit lem kayu sudah kusiapkan. Aku memilih sudut yang aman, tersembunyi di balik semak-semak di luar kamar mandi. Dengan cutter, aku menggores permukaan dinding perlahan, membuka celah sekecil kepala paku. Lalu, dengan bor listrik kecil, aku menekan pelan, membiarkan mata bor menembus dinding sedikit demi sedikit.
Aku meniup debu halusnya, memastikan tak ada sisa yang mencurigakan. Dari luar, lubang itu tersamarkan dalam bayangan, menyatu dengan tekstur kasar tembok. Dari dalam, nyaris tak terlihat, hanya titik kecil di sudut dekat lantai.
Aku tersenyum. Selesai.
Aku melangkah mundur, memeriksa hasil pekerjaanku dari mengganti CCTV hingga membuat lubang di kamar mandi. Aku memastikan semuanya tetap seperti sedia kala. Tidak ada barang yang bergeser lebih dari satu milimeter. Tidak ada sidik jariku yang tertinggal. Tidak ada jejak. Aku bukan orang bodoh yang bertindak ceroboh.
Hanya ada satu hal yang kubiarkan menjadi ‘hadiah’ untuk diriku sendiri.
Di dalam lemari milik Inara, tersembunyi di antara lipatan pakaian yang tertata rapi, aku menemukan tumpukan celana dalam, dari yang polos, hingga yang seksi berenda, sesuatu yang tidak kusangka dikenakan Inara di balik jilbab dan gamis panjang yang menutupi tubuhnya rapat-rapat.
Kuambil satu yang berwarna merah muda, lalu mengangkatnya. Kain segitiga yang begitu mungil, begitu lembut. Kemaluanku berdenyut-denyut membayangkan bagaimana kain lembut ini melekat di memek tembemnya, tersembunyi di balik gamis panjangnya yang ia kenakan sehari-hari. Kuhirup dalam-dalam mencium wanginya yang begitu menggairahkan, campuran antara wangi pelembut pakaian dengan mungkin sedikit aroma alami memek milik sang artis Inara Rusli.
Aku tersenyum tipis, menyelipkannya ke dalam sakuku.
Lalu, seperti hantu yang datang tanpa jejak, aku pun pergi tanpa meninggalkan bukti apa pun.
Sudah beberapa hari sejak aku mengganti CCTV di rumah Inara. Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, aku kembali duduk di ruang kerja, hanya ditemani cahaya redup layar laptop dan dengung halus kipas angin. Di hadapanku, beberapa jendela video terbuka, menampilkan sudut-sudut rumah sebelah.
Ruang tamu kosong. Sofa krem tertata rapi, sepasang sandal kecil tergeletak di dekat pintu. Dapur juga sunyi. Aku berpindah ke halaman belakang—tak ada yang menarik, hanya ayunan kecil yang bergoyang pelan tertiup angin malam. Mataku melirik jam di sudut layar—23.07. Seharusnya Inara sudah kembali sejak tadi.
Seakan menjawab pikiranku, suara mesin mobil terdengar dari CCTV garasi. Mobil hitam itu berhenti perlahan, lalu pintunya terbuka. Sosok yang kutunggu akhirnya muncul di layar.
Inara turun dengan anggun, mengenakan gamis panjang berwarna biru gelap. Wajahnya tampak lelah, tapi tetap lembut seperti biasa. Ia merapikan hijabnya sekilas sebelum membuka pintu belakang dan membantu anak-anaknya turun. Satu per satu mereka keluar, menguap kecil, matanya berat menahan kantuk. Inara tersenyum, menggandeng si bungsu, lalu membisikkan sesuatu yang membuat anak itu mengangguk pelan.
Aku diam, menyaksikan. Memerhatikan setiap detail. Bagaimana ia menuntun anak-anaknya masuk, menyalakan lampu ruang tamu, lalu melepas sepatunya. Gerakan sederhana, tapi entah kenapa terasa begitu… memikat.
Aku berpindah ke feed ruang tamu.
Inara duduk di sofa, menghela napas pelan sebelum menundukkan kepala. Jari-jarinya perlahan terangkat, menyentuh tepi hijab yang selama ini selalu membingkai wajahnya, penutup aurat yang tak pernah ia buka di depan publik.
Lalu, dengan gerakan yang begitu alami namun terasa seperti sesuatu yang mustahil kulihat, ia melepaskannya.
Kain itu meluncur turun, memperlihatkan sesuatu yang tak pernah tersentuh mata para penggemarnya di layar kaca. Rambut hitamnya yang panjang jatuh dengan anggun, bergelombang lembut, seolah membingkai wajahnya dengan cara yang bahkan lebih sempurna dari hijab yang biasa ia kenakan. Beberapa helai tersangkut di pipinya, membuatnya terlihat begitu… berbeda.
Tangannya bergerak, menyelipkan rambut yang jatuh di wajahnya ke belakang telinga, memperlihatkan leher jenjangnya yang selama ini tersembunyi.
Aku menelan ludah.
Selama ini, jutaan orang hanya bisa melihatnya dengan jilbab yang tertata rapi di layar televisi, di iklan-iklan, di setiap kemunculannya di luar rumah. Tapi aku—aku melihatnya seperti ini. Melihat sesuatu yang tak pernah disaksikan siapa pun.
Dan aku tak bisa berpaling.
Beberapa menit berlalu. Inara bangkit, berjalan menuju dapur. Ia meraih gelas, mengisi air dari teko kaca, lalu meneguknya perlahan. Gerakan sekecil itu pun terasa luar biasa di mataku.
Tanganku mengepal di atas meja. Aku tahu ini salah. Seharusnya aku tak melihatnya seperti ini. Tapi semakin lama aku menatap layar, semakin aku tak bisa berhenti. Semakin aku ingin melihat auratnya lebih dari ini.
…
ns52.14.141.131da2