
Sejak pertemuan pertama itu, aku merasa pikiranku tidak bisa lepas dari Inara Rusli. Setiap hari, tanpa sadar, aku terus membayangkan wajahnya, suara lembutnya, dan gerak-geriknya yang begitu anggun. Semakin aku mencoba mengabaikan, semakin pikiranku justru dipenuhi bayangan dirinya.
Saat duduk di teras, menyesap kopi pagi, aku berharap bisa melihatnya keluar rumah. Terkadang, saat dia mengantar anak-anaknya ke sekolah, aku bisa mengintip dari balik pagar, sekadar memperhatikan bagaimana dia membetulkan hijabnya dengan jemari lentik itu, atau bagaimana lekuk tubuh rampingnya tetap terlihat indah meski tertutup gamis yang longgar. Justru yang tertutup itu yang membuat imajinasiku semakin liar. Apa yang tersembunyi di balik kain-kain itu? Aku sering bertanya-tanya sendiri, dan semakin lama, pertanyaan itu berkembang menjadi sesuatu yang lebih berbahaya.
Aku mulai mencari tahu tentang dirinya, sedikit demi sedikit. Sumber terbaik? Istriku sendiri.
"Bu Inara itu bukan artis biasa. Dia lebih banyak jadi pengisi acara atau sesekali muncul di TV untuk talk show, bukan yang suka sensasi itu," ujar istriku suatu malam saat kami berbincang di ruang keluarga.
Aku berpura-pura tak terlalu tertarik. "Oh, begitu? Kelihatannya memang beda, ya. Nggak terlalu banyak tingkah."
"Iya, dia itu janda beranak tiga. Tapi tetap bisa mandiri. Rumahnya lumayan besar, rapi banget, kelihatan Islami. Ada rak buku agama, kaligrafi di mana-mana. Pokoknya kelihatan kalau dia muslimah yang taat," istriku menambahkan sambil merapikan lipatan kain.
Aku mengangguk pelan, tapi pikiranku justru semakin liar. Wanita seperti itu… taat, anggun, tetapi tetap bekerja di dunia TV dan hiburan? Apakah dia hanya menjaga citra, atau memang benar-benar se-salehah itu?
"Oh iya, dia nggak punya pegawai laki-laki di rumahnya, lho. Katanya untuk menjaga batasan, jadi yang bantu di rumah ya pembantu perempuan saja. Supir pun katanya cuma panggilan kalau perlu. Sehari-hari dia lebih suka nyetir sendiri."
Aku menelan ludah. Wanita seperti dia, tinggal di rumah besar tanpa ada pria lain selain anak-anaknya… pikiranku mulai ke arah yang tidak-tidak.
"Terus, kegiatannya gimana? Kayaknya sibuk banget, ya?"
Istriku mengangguk. "Ya, dia kan punya bisnis baju muslimah sama kerja di dunia hiburan. Kadang ada syuting, kadang datang ke acara, kadang juga sibuk endorse di media sosial. Tapi dia tetap ibu yang baik, lho. Nggak terlalu sering pergi, karena katanya dia ingin tetap dekat sama anak-anaknya.”
Aku menghela napas panjang. Sosoknya semakin menarik di mataku. Seorang ibu, seorang pekerja, seorang muslimah yang taat… dan seorang janda yang kini tanpa pelindung.
Semakin banyak yang kuketahui, semakin besar keinginanku. Dan yang lebih mengkhawatirkan, niat buruk mulai terbersit di benakku.
Aku tahu ini salah. Tapi entah kenapa, aku tidak bisa berhenti menginginkannya.
…
ns3.23.102.227da2