Kau, serpihan kenangan yang pernah kugenggam
lalu kupatahkan sendiri,
dengan tangan yang kini gemetar
menyentuh dinginnya udara yang tak kau hangatkan lagi.
Langit malam masih menabur bintang yang sama,
seperti saksi bisu dulu—
saat kita merajut mimpi dengan benang doa
yang akhirnya kusut karena egoku.
Kini, aku berlari dalam lorong sunyi
tempat namamu masih terukir di dinding-dinding jiwa.
Kukira aku kuat melepaskan
nyatanya aku hanya menunda rindu
yang perlahan menjelma nyeri.
Bagaimana bisa aku jatuh lagi
pada senyum yang pernah kutinggalkan?
Mungkin karena senyum itu
tak pernah benar-benar pergi dari mataku.
Kembalilah,
bukan untuk memaafkan waktu yang kita sia-siakan,
tapi untuk menyusun ulang cerita,
dengan aksara baru yang lebih lembut.
Sebab aku tahu kini:
kamu adalah rumah,
dan aku hanya pelancong yang tersesat
dalam penyesalan.