
Beberapa minggu telah berlalu sejak panggilan telepon dari Adam yang membuat Sarah terkejut. Dia berusaha melanjutkan hidupnya dengan tetap menjaga jarak dari perasaannya yang tak terucapkan. Meskipun jantungnya masih tampak hancur, dia berusaha untuk tetap tersenyum dan membayangkan pura-pura bahagia di hadapan Adam.
Suatu hari, Adam mengajak Sarah keluar untuk makan malam bersama. Meskipun ragu, Sarah setuju karena dia tidak ingin menolak sahabatnya. Mereka memilih restoran favorit mereka dan duduk di meja yang terpisah dari keramaian.
Tetapi ketika mereka tiba-tiba melihat seseorang mendekati meja mereka, Sarah merasa jantungnya berdetak kencang. Itu adalah Nadia, wanita yang membuat hati Adam berbunga-bunga.
Adam tersenyum lebar ketika melihat Nadia. "Hai, Nadia! Apa kabarnya?" sambutnya ramah.
Nadia tersenyum manis balik. "Hai, Adam! Aku baik-baik saja, terima kasih. Maaf mengganggu, tapi aku melihat kamu dari jauh dan ingin menyapa."
Sarah merasa seperti hatinya terjepit dalam keadaan yang rumit. Dia tidak tahu harus berbuat apa, apakah dia harus tetap duduk di sana atau pergi meninggalkan mereka berdua.
Adam memperkenalkan Sarah kepada Nadia. "Nadia, ini adalah Sarah, sahabatku sejak masa sekolah. Sarah, ini adalah Nadia, teman sekuliahku," kata Adam.
Sarah tipis tersenyum, mencoba menutupi perasaannya yang campur aduk. Dia merasa tidak nyaman berada di situasi ini, tetapi dia mencoba untuk bertahan.
Nadia tampak ramah pada awalnya, tetapi kemudian dia mengalihkan perhatiannya kembali pada Adam. Mereka berdua mulai berbincang-bincang dengan antusias, membuat Sarah merasa semakin terasing.
Dia merasa seperti tidak punya tempat di situasi ini, seperti hanya menjadi pihak ketiga yang tidak diinginkan. Hatinya terasa hancur melihat Adam dan Nadia bersama-sama, meskipun dia tahu bahwa dia harus menerima kenyataan bahwa Adam tidak akan pernah melihatnya lebih dari sekedar sahabat.
Dalam keheningan yang membelenggu, Sarah merasa seperti tidak ada kata-kata yang bisa dia ucapkan. Dia hanya duduk di sana, berusaha untuk tetap tenang meskipun jantungnya hancur.
Sarah duduk di meja restoran dengan perasaan yang berat di dada. Ketika dia melihat Adam dan Nadia, hatinya terasa seperti diremas dengan keras. Mereka berdua saling melempar candaan, tertawa, dan berbagi momen penuh keintiman di hadapannya.
Dia mencoba untuk tersenyum dan menikmati malam itu, tetapi setiap candaan yang mereka bagikan terasa seperti pukulan yang memukulnya dengan keras. Hatinya terasa hancur saat dia menyaksikan Adam dan Nadia, dua orang yang dia sayangi, bersama-sama, seolah-olah dunia ini hanya mereka berdua.
Sarah berusaha untuk tetap berada di dekat orang dewasa dan menahan udara di matanya, tetapi rasanya seperti tidak ada yang bisa menghentikan rasa sakit yang menghantamnya dengan keras. Dia merasa seperti tidak ada tempat di antara mereka berdua, seperti dia hanya menjadi pihak ketiga yang tidak diinginkan.
Setiap candaan yang mereka lemparkan membuatnya semakin terluka. Sarah merasa seperti hatinya ditusuk-tusuk dengan pisau setiap kali Adam dan Nadia tertawa bersama.
Saat makan malam mereka berakhir, Sarah berusaha untuk tidak menangis di depan mereka. Dia tersenyum tipis, berpura-pura bahagia, meskipun jantungnya hancur.
Namun, begitu dia berada di luar restoran, dia tidak bisa menahan air mata yang mengalir deras di pipinya. Dia merasa seperti hatinya hancur menjadi jutaan potongan kecil, dan dia tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya.
Dengan langkah-langkah yang berat, Sarah berjalan pulang ke rumahnya sendirian, membiarkan perasaan sakit yang mendalam memenuhi hatinya. Dia merasa seperti tidak ada yang bisa mengerti betapa sakitnya hatinya, dan dia hanya bisa berdoa agar rasa sakit itu segera mereda.
Malam itu, Sarah terjaga dalam kegelapan kamarnya, dipenuhi oleh kantuk dan rasa sakit yang menggelayuti setiap serat jantung. Dia memutar kembali momen di restoran, ketika Adam dan Nadia saling melempar candaan dengan begitu alami, sementara dirinya hanya bisa berdiri di samping, merasa terpinggirkan dan tidak diinginkan.
Setiap kali dia memikirkan betapa nikmatnya Adam dan Nadia, rasa sakit di dadanya semakin dalam. Mereka berdua nampaknya begitu cocok bersama, seperti kebahagiaan mereka menjadi semacam pukulan bagi dirinya yang terluka.
Sarah merasa seperti semua harapannya hancur berkeping-keping. Dia berusaha keras untuk menekan emosinya, tetapi rasa sakitnya begitu mendalam sehingga sulit untuk diabaikan.
Dia memikirkan semua momen yang mereka habiskan bersama, semua kenangan yang mereka bagi. Tetapi sekarang, semuanya terasa hampa, seolah-olah dia hanya berada di sana sebagai penonton dalam kehidupan Adam dan Nadia.
Dengan perasaan yang berat di dada, Sarah akhirnya tertidur dalam keheningan yang menyakitkan. Tetapi bahkan dalam mimpinya, dia tidak bisa melarikan diri dari rasa sakit yang memenuhi hatinya.
Pagi berikutnya, Sarah bangun dengan rasa sakit yang masih membakar dadanya. Dia tahu bahwa dia harus mencari cara untuk menyembuhkan luka ini, meskipun dia tidak tahu bagaimana caranya.
Saat dia merapikan pikirannya dan bersiap-siap untuk memulai hari, ponselnya tiba-tiba berdering. Saat dia melihat nama yang muncul di layar, dia merasakan detak jantungnya berdegup lebih cepat. Itu adalah Adam.
Dengan hati yang berdebar, Sarah menjawab panggilan tersebut. Halo, Adam?
Suara Adam terdengar khawatir di seberang sambungan. "Halo, Sarah. Aku ingin bertanya-tanya apakah kamu baik-baik saja. Kamu meninggalkan acara makan malam tanpa pamit, dan aku khawatir sesuatu terjadi padamu."
Sarah merasa tersentuh oleh kepedulian Adam, meski hatinya masih penuh dengan rasa sakit. "Maaf, Adam. Aku hanya merasa perlu untuk berhenti sejenak. Aku baik-baik saja, tidak perlu khawatir," jawabnya dengan suara yang bergetar.
Adam terdiam sesaat di telepon, sepertinya mencoba memproses penjelasan Sarah. "Baiklah, aku mengerti. Tetapi kalau kamu butuh teman bicara atau dukungan, kamu tahu bahwa aku selalu ada untukmu, kan?"
Sarah tersenyum pahit mendengar kata-kata itu. Meskipun hatinya terasa hancur, dia merasa bersyukur memiliki seseorang seperti Adam dalam hidupnya. "Terima kasih, Adam. Aku menghargainya," ucapnya dengan suara yang lembut.
Setelah berbincang sebentar lagi, panggilan itu akhirnya berakhir. Sarah duduk sendirian di kamarnya, memikirkan kebaikan dan kepedulian Adam padanya. Meskipun hatinya masih terasa hancur, dia merasa sedikit lega karena memiliki seseorang seperti Adam yang selalu ada di sisinya.
“Kenapa kamu tidak mengerti Adam bahwa aku menyukai mu, aku terluka melihat kamu bersama dengan Nadia.” Batin Sarah yang merasa sakit melihat kedekatan Adam dan Nadia.
Sarah berdiri di depan cermin, mencoba menemukan kekuatan dan keberanian dalam dirinya. Dia tahu bahwa meskipun hatinya masih terasa hancur, dia harus melangkah maju dan menerima kenyataan yang pahit.
Dengan langkah-langkah yang berat, Sarah memutuskan untuk pergi ke kampus. Saat dia berjalan di tengah keramaian kampus, dia merasa seperti hatinya terangkat sedikit demi sedikit. Ada sesuatu yang menyegarkan dalam melihat teman-temannya dan merasakan kehidupan kampus yang berlangsung.
Namun, di tengah-tengah kesibukannya, dia tidak bisa menghilangkan pikiran Adam. Setiap kali dia melihat wajahnya atau mendengar namanya disebut, rasa sakit itu kembali memenuhi hatinya.
129Please respect copyright.PENANAsfvnLN9N24
129Please respect copyright.PENANAsUeNoOcL8n
129Please respect copyright.PENANAYsxdCjEqKF