
Bergerak dalam gelapnya pagi yang basah oleh embun, Khairunniswah beraksi dengan cekatan, memastikan setiap barang miliknya telah tersimpan rapi dalam tas ransel coklat muda yang penuh oleh pakaian serta berbagai perlengkapan seorang perempuan. Di dalam tas itu terselip sikat gigi, kosmetik, hingga perlengkapan perawatan kulit semuanya dirapikan dengan teliti. Menatap layar handphone yang menunjukkan sisa waktu beberapa menit lagi menuju tujuan, ia menghela nafas sambil berdiri di depan cermin kecil. Dengan cekatan, Khairunniswah mengenakan cadar dan bandana yang menyamarkan kecantikan wajahnya, hanya sepasang mata yang tampak menyala di balik kacamata yang ia kenakan, menambah aura menarik meskipun tertutup. Satu bulan silam, kabar mengenai pernikahan kakaknya mengirimkan desakan pada hatinya untuk pulang kampung. Tanpa perlu mengajukan cuti karena sekolah tempatnya mengajar sedang libur, ia berangkat dengan segala persiapan lengkap. Sementara suara deru mesin minibus mulai terdengar, ia menengok ke arah jendela, memastikan kedatangan mobil yang telah dinanti-nantikan. Sesuai harapan, sebuah minibus berwarna coklat tua berhenti tepat di depan kontrakannya.
Dengan langkah ringan namun penuh tekad, Khairunniswah membuka pintu dan keluar dari kontrakannya. Ia mengenakan jilbab lebar hitam yang melilit anggun hingga ke paha, dipadu dengan gamis senada yang menjuntai. Di sisi pintu, tampak seorang sopir pria berusia pertengahan, mengenakan kaos hitam yang memperlihatkan kalung perak serta celana jins lusuh. Tubuhnya tampak kurus tanpa cela otot, sedangkan di dalam mobil, lima pria muda yang duduk di kursi tengah terpancar kesan garang, posturnya besar dan pandangan mereka tajam menyeruak. Di barisan belakang, seorang lelaki tua yang asyik dengan layar handphone tampak terasing dalam dunianya. Tak ketinggalan, di samping sopir, seorang pria berkalung stainless yang santai dengan sebatang rokok menyedot perlahan sambil memandang Khairunniswah dengan tatapan yang seolah mencoba menembus jubah kesuciannya. Merasa dirinya satu-satunya perempuan di dalam kendaraan, Khairunniswah menarik napas panjang dan berusaha berserah pada keadaan. Ia pun masuk dan duduk di kursi penumpang sisi kiri, agak menempel pada pintu sehingga dapat merasakan kehadiran pria itu di sebelahnya. Pikiran Khairunniswah berusaha tenang, mengingatkan dirinya bahwa dalam kondisi seperti ini risiko adalah bagian dari petualangan menggunakan travel tak ada yang bisa diprediksi siapa yang akan berada di dekatnya.
Perjalanan dimulai dengan dentuman musik house yang menggema dari dalam mobil, namun bagi Khairunniswah, irama tersebut hanya menambah rasa pusing karena tak terbiasa dengan dentuman musik keras. Tambahan pula, asap rokok yang terus mengalir dari penumpang di depan membuat udara semakin menyengat, meski seluruh wajahnya tertutup. Ia pun mencoba mengalihkan pandangan ke deretan pemandangan di luar: warung kecil, rumah makan Padang, dan rumah-rumah penduduk yang sederhana. Beberapa kilometer kemudian, minibus berhenti mendekati sebuah rumah di tengah hamparan sawah. Seorang pria berpakaian putih dengan kardus berikat ketali mendekat, diiringi sopir yang segera menurunkan bagasi dan menempatkan kardus tersebut di dekat pintu belakang. Saat itu, dalam keheningan yang mulai menyelubungi perjalanan, Khairunniswah berkata pelan kepada dirinya sendiri, “Aku benar-benar perempuan yang sendirian.”
Di antara tumpukan duduk para penumpang, Khairunniswah secara tidak sengaja mendapati situasi yang tak terduga. Pintu sampingnya terbuka, memperlihatkan seorang pria muda yang segera meminta duduk di dekat jendela agar ia bisa menghindari mabuk akibat duduk di tengah. Sementara Khairunniswah mengharapkan sikap santun dari pria di seberangnya, ia hanya menemukan tatapan dingin yang tenggelam dalam layar handphone. Akhirnya, ia harus merelakan posisi duduknya, memaksakan diri untuk berada di antara dua pria asing yang membuatnya merasa semakin terasing. Seiring waktu berlalu, kelelahan turut menyeruak. Mata Khairunniswah berjuang untuk tetap terjaga, meski sesekali terpejam karena kelelahan, hingga terguncang oleh hentakan mobil mengenai lubang di jalan. Gesekan antara lengan, yang terjadi karena posisi duduk yang sempit, kian memicu bayangan-bayangan kasar di benaknya bayangan tentang cerita-cerita gelap, erotika brutal tentang perempuan yang diremehkan, dilecehkan, bahkan diperkosa dalam kerumunan. Pikiran-pikiran terlarang itu mengusik dirinya, menciptakan getaran yang tak terduga di antara rasa panik dan gairah. Tak lama, ia berbisik pada dirinya sendiri, “Apakah aku terangsang karena keadaan seperti ini?”
Gairah yang awalnya hanya samar mulai menggelora, semakin merebak seiring perjalanan yang tak kunjung usai. Meskipun berusaha memusatkan pikirannya pada hal-hal lain, getaran nafsu tampak menguasai setiap sel dalam tubuhnya. Di balik kepura-puraan dirinya sebagai akhwat yang taat dan aktif dalam pengajian, tersimpan hasrat gelap yang sering ia rangsang di sepi kamar kontrakan. Kini, di tengah perjalanan yang penuh ketidakpastian, ia muncul kembali. Secara perlahan, tangan Khairunniswah menyelinap ke dalam jilbabnya, mengikuti naluri yang tak dapat ia tahan. Tanpa sepenuhnya sadar, resleting gamisnya diturunkan, memperlihatkan lekuk tubuh yang tiba-tiba memanggil rasa penasaran terlarang. Dengan gerakan yang hampir tak terbendung, ia mengangkat cup bra, merasakan payudara yang mengeras di sentuhan tangannya. Remasan lembut di payudara kiri mengundang hawa nafsu semakin tinggi, namun seketika pria di samping sopir yang duduk sambil menghisap rokok memalingkan pandangan. Kepanikan menyambar, membuat detak jantungnya semakin menggila.
Pikiran Khairunniswah berputar dalam ironi antara rasa takut dan kenikmatan terlarang, ia pun membayangkan reaksi penumpang lain: “Bagaimana jika mereka menyadari, malah mendekat dan merenggut apa yang baru saja kuraba?” Fantasi tentang dirimu yang secara eksplisit diinginkan dan bahkan diserbu oleh tangan-tangan liar, berduka dan mendesak kembali muncul dengan intensitas yang hampir membakar. Dua jam berlalu sebelum minibus akhirnya memasuki area SPBU. Rasa ingin buang air kecil yang mendesak pun mendorong Khairunniswah untuk mencari tempat yang lebih privat. Dalam keadaan bimbang, ia beranjak mendekati pintu toilet. Namun, kenyataan justru menimpanya: satu-satunya bilik yang bisa ia gunakan di toilet pria ternyata tak dapat terkunci dengan sempurna.
Di dalam bilik yang sempit itu, dengan gerakan panik dan cemas, Khairunniswah mulai menata kembali busana yang berantakan. Namun, nasib malang menghampiri, air kencing tak terkendali merembes, membasahi celana panjang yang dikenakannya. Rasa malu bercampur desakan fisik membuatnya berpikir, “Haruskah aku menurunkan bagasi demi mengambil pakaian ganti?” Namun, di tengah kebingungan, ia memutuskan untuk segera mengganti celana yang kotor dan membuang celana dalam yang telah basah, seraya mencoba memperbaiki kaitan bra yang justru patah, meninggalkan gamisnya menggantung tak sempurna di tubuhnya. Dengan niat untuk menutup kekacauan yang terjadi, Khairunniswah segera melonggarkan gamisnya dan menggulung bra dengan cermat, berusaha mengembalikan kemuliaan penampilannya meskipun kerapuhan dan kelelahan begitu nyata. Namun, begitu ia hendak menata diri, bayangan kenikmatan liar yang telah menguasai pikirannya kembali menyeruak. Suara desir desahan kecil mulai terbunyi saat tangannya kembali meraba payudara dengan gerakan pelan dan teratur. Ia bahkan tidak mampu menahan desahan kecil yang terlepas, seiring gairahnya mengalir dalam adegan yang begitu vulgar dan memabukkan.
Dalam keadaan berdiri bersandar pada dinding bilik toilet yang bersuhu dingin, kaki-kakinya terbuka seolah mengundang bayangan kasar yang ia pikirkan: “Bagaimana jadinya jika semua orang di luar mendengar dan ikut menyerbu?” Di balik kecemasannya, Khairunniswah merasakan intensitas orgasme yang hampir mencapai puncak, dengan tangan yang semakin tegas dan keinginan yang tak tertahankan. Tiba-tiba, pintu bilik terbuka dengan suara berderak, mengguncang suasana dan mendobrak ilusi kenikmatan terlarang yang telah lama ia rangkai. Dengan cepat, ia menarik kembali jilbab yang terlepas, berusaha menutupi tubuhnya yang kini terlihat rentan. Kegugupan menyelimuti, sementara ia dengan panik mengembalikan busana yang sebelumnya hampir hancur namun dengan terburu-buru, resleting gamis di bagian dadanya rusak, sebuah cacat kecil yang menjadi saksi bisu kekacauan momen tersebut.
Dalam sekejap, ia berlari ke arah mobil travel yang kini tengah menunggu, hujan mulai turun deras membasahi seluruh perjalanan. Di tengah kerumunan para penumpang yang baru saja keluar dari toilet, Khairunniswah berusaha menenangkan diri sembari merapikan kembali penampilannya. Namun, di saat yang sama, ia menyadari dengan getir bahwa celana panjang dan bra yang dulu tergantung dalam toilet masih tertinggal. Dengan badai perasaan yang belum reda, ia termangu sejenak, menyadari bahwa malam itu mungkin harus diwarnai oleh kejadian yang tidak terduga dan serangkaian pergolakan antara rasa malu, panik, dan gairah terlarang. Dan begitulah, perjalanan yang seharusnya menjadi rutinitas pulang kampung berubah menjadi kisah absurd yang kaya akan konflik batin, kontradiksi antara kepatuhan syar'i dan nafsu liar yang selama ini tersembunyi, meninggalkan pertanyaan yang menggantung: apakah semuanya hanya akan menjadi memori kelam atau cerita yang nantinya akan terus menghantui setiap langkahnya?Bagian Bawah Formulir
Bersambung…
ns18.191.195.228da2