
"Hai, Kak Delon," jawabnya pelan. Ia berusaha terlihat sopan, meski sebenarnya ia ingin tahu lebih banyak tentang siapa Delon dan bagaimana hubungannya dengan Anisa bisa begitu dekat tanpa sepengetahuannya.
5728Please respect copyright.PENANAXUV5QjVbsp
Namun, sebelum Arifah sempat berpikir lebih jauh, Anisa menambahkan dengan nada santai, “Eh, Rifah, kamu tidur di kamar Dewi atau Intan aja malam ini, ya? Delon mau menginap.”
5728Please respect copyright.PENANA7ipY0mNCYP
Kata-kata itu membuat Arifah tersentak. Perutnya seolah bergolak dengan perasaan tak nyaman. Anisa mengatakannya seolah-olah itu hal biasa, seolah tak ada yang perlu dipertanyakan. Namun bagi Arifah, ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang ia pegang sejak kecil. Ia selalu diajarkan bahwa pria dan wanita yang bukan muhrim tak seharusnya berduaan, apalagi menginap bersama.
5728Please respect copyright.PENANANo1MbEgsmm
"Tapi, Kak..." Arifah ingin mengatakan sesuatu, namun kata-kata itu tertahan di tenggorokannya. Bagaimana mungkin ia bisa berbicara tentang hal yang begitu sensitif tanpa menimbulkan ketegangan di antara mereka? Anisa tampak begitu bahagia dan santai bersama Delon, seakan semua ini adalah hal yang wajar.
5728Please respect copyright.PENANAxiQvSrNFdW
Anisa, yang melihat keraguan di wajah adiknya, tersenyum seolah-olah memahami kebingungannya. "Santai aja, Rifah. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Delon orang baik, dan dia sering menginap di sini. Kamu bisa tenang kok."
5728Please respect copyright.PENANAv2XOW0Gjxx
Meski Anisa berusaha menenangkan, perasaan Arifah tak bisa diabaikan begitu saja. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, rasa yang mungkin tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata. Dengan ragu, Arifah akhirnya hanya mengangguk pelan dan berkata, "Baik, Kak."
5728Please respect copyright.PENANAAVEmXhlxlj
Ia melangkah menuju kamar Dewi, berusaha menahan perasaan tidak nyaman yang menghantuinya. Di dalam kamar, ia duduk di tepi ranjang, memandangi langit-langit. Pikiran dan hatinya berkecamuk, mencoba memahami situasi yang baru ia hadapi. Jakarta memang jauh lebih kompleks dari yang ia bayangkan, dan kini ia merasa lebih jauh dari kehidupan sederhana dan aturan yang dulu begitu jelas di kampung halamannya.
5728Please respect copyright.PENANAVSkuqHUxsX
Ia berjalan menuju kamar Dewi dan mengetuk pelan pintunya.
5728Please respect copyright.PENANAIgiOkrfM2X
"Kak Dewi, boleh aku tidur di kamarmu malam ini?"
5728Please respect copyright.PENANA263WCGtz1y
Dewi, yang sedang duduk di meja riasnya, menoleh dan tersenyum. "Oh, tentu, Rifah. Aku sedang nggak pakai kamar juga kok. Malah, aku mungkin bakal ke kamar Intan malam ini."
5728Please respect copyright.PENANAoJ5KmGYHEP
Arifah mengangguk. "Makasih, ya, kak Dewi," ucapnya sambil masuk ke dalam kamar.
5728Please respect copyright.PENANALVWv15gNdu
Di dalam kamar, Arifah mencoba menenangkan diri. Ia mengeluarkan Al-Qur'an dari tasnya dan mulai membaca ayat-ayat yang biasa ia baca setiap malam. Namun, pikirannya terusik dengan kenyataan bahwa Anisa, kakak yang selalu ia kagumi, tampaknya telah terpengaruh dengan gaya hidup Jakarta yang lebih bebas.
5728Please respect copyright.PENANAPZ5KJBdJw5
Keesokan harinya, Arifah duduk di dapur bersama Dewi dan Intan. Mereka sedang menikmati sarapan ketika Anisa muncul bersama Delon. Arifah menunduk, mengaduk-aduk teh di depannya tanpa berkata apa-apa.
5728Please respect copyright.PENANAHReYqlZ92G
Dewi menyadari ketegangan di wajah Arifah. "Kamu nggak apa-apa, Rifah?" tanyanya lembut.
5728Please respect copyright.PENANAJ5h1woGdPP
Arifah mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil. "Aku nggak apa-apa, kak Dewi. Cuma masih mencoba terbiasa dengan semuanya."
5728Please respect copyright.PENANA8xCUkoi68n
Intan, yang duduk di sebelah Dewi, mengangguk. "Kita semua pernah melalui fase itu, Rifah. Jakarta memang bisa bikin kaget."
5728Please respect copyright.PENANAaOfuVNg14W
Anisa dan Delon duduk di kursi yang berhadapan dengan Arifah. Anisa tersenyum lebar, mencoba mencairkan suasana. "Rifah, kamu harus belajar lebih rileks. Di sini, semuanya lebih santai."
5728Please respect copyright.PENANAv0RVzhyL4J
Arifah menggigit bibirnya, merasa bingung harus merespons bagaimana. Ia tidak ingin menyinggung perasaan kakaknya, tetapi juga merasa tidak nyaman dengan keadaan ini. "Iya, Kak. Aku coba," jawabnya pelan.
5728Please respect copyright.PENANAeityeWHuDE
Delon menatap Arifah dengan penuh perhatian. "Arifah, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Semua orang di sini melakukan apa yang membuat mereka bahagia. Mungkin kamu bisa mencoba hal yang sama."
5728Please respect copyright.PENANAanEUttcGtA
Arifah hanya tersenyum kaku. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Saat itu, Intan menepuk bahunya dengan lembut. "Rifah, kamu nggak perlu memaksa diri untuk berubah. Kita semua di sini berbeda, dan itu nggak apa-apa."
5728Please respect copyright.PENANA6XvoQUyqFo
Malam itu semakin larut, dan keheningan rumah kontrakan hanya sesekali dipecahkan oleh suara kendaraan yang melintas di jalanan luar. Dewi, yang juga tak kebagian kamar malam itu, merebahkan dirinya di atas karpet depan TV. Ia memutar tubuhnya ke arah Arifah yang sedang terbaring di sofa, mencoba menenangkan suasana.
5728Please respect copyright.PENANA6hEMkczT9q
“Rifah,” suara Dewi terdengar pelan, seolah tak ingin mengganggu keheningan malam, “Aku tahu ini nggak mudah buat kamu. Kehidupan di sini memang berbeda banget dari di kampung. Kamu mungkin merasa aneh, tapi percayalah, semua orang butuh waktu buat beradaptasi.”
5728Please respect copyright.PENANAQLbtzv2NA0
Arifah terdiam sejenak, menghapus air mata yang masih tersisa di pipinya. Ia menatap langit-langit yang suram, tak tahu harus berkata apa. Dalam hatinya, ia merasakan kekosongan yang sulit dijelaskan, namun ia tak ingin menambah beban Dewi dengan keluhannya.
5728Please respect copyright.PENANAbqdkZBnSmv
Melihat Arifah yang hanya terdiam, Dewi melanjutkan, “Aku juga dulu ngerasain hal yang sama. Waktu pertama kali datang ke Jakarta, aku kaget banget dengan cara hidup orang-orang di sini. Kebebasan mereka, cara mereka berpikir dan bertindak, semuanya bikin aku merasa terasing.”
5728Please respect copyright.PENANAJ1dcW1PxVd
Dewi menarik napas panjang, lalu melanjutkan dengan nada lebih lembut, “Tapi, pelan-pelan, aku belajar untuk menerima. Bukan berarti kita harus ngikutin semuanya, tapi kita bisa tetap jadi diri sendiri, meski lingkungan di sekitar kita berbeda. Kamu bisa tetap pegang nilai-nilai yang kamu yakini, Rifah. Jangan sampai hilang hanya karena kamu ada di tempat yang baru.”
5728Please respect copyright.PENANABDmH8u1x1b
Arifah menoleh pelan, menatap Dewi yang tersenyum lembut di bawah cahaya lampu yang temaram. Kata-kata itu menenangkan hatinya, meskipun keraguan masih menyelimuti dirinya. "Aku cuma bingung, Kak. Kadang aku ngerasa nggak cocok di sini. Semuanya terasa asing," ucap Arifah lirih.
5728Please respect copyright.PENANA3396MKIIt8
Dewi mengangguk penuh pengertian. “Itu wajar, Rifah. Kita semua butuh waktu. Tapi, yang penting, jangan terburu-buru mengambil kesimpulan. Lihat dan pelajari dulu apa yang baik dan nggak. Kamu punya kekuatan buat tetap jadi diri kamu, nggak harus ngikutin arus.”
5728Please respect copyright.PENANAGS7rCzqIW9
Arifah terdiam, merenungkan kata-kata Dewi. Ia merasa sedikit lebih tenang. Malam itu, meskipun masih ada perasaan tidak nyaman di hatinya, kehangatan dan pengertian Dewi membuatnya merasa tidak sendirian. Meskipun dunia di sekitarnya berubah begitu cepat, mungkin masih ada tempat di mana ia bisa menemukan keseimbangan, di antara arus kehidupan kota yang penuh tantangan ini.
5728Please respect copyright.PENANAytI2u7vzze
“Terima kasih, Kak Dewi,” bisik Arifah sebelum akhirnya memejamkan matanya, berusaha meraih ketenangan dalam kelelahan tubuh dan pikirannya.
5728Please respect copyright.PENANAtmZ9NYy8BU
Saat ia menutup mata, pintu kamar Anisa terbuka. Anisa berjalan keluar dan melihat adiknya di sofa. Ia berjalan mendekat dan duduk di samping Arifah. "Maaf, Rifah. Aku tahu ini pasti sulit buat kamu."
5728Please respect copyright.PENANAbgTsTQwaq4
Arifah menghela napas panjang dan menatap kakaknya. "Kak, aku nggak mau menyusahkan kamu atau siapapun. Tapi... aku nggak tahu harus bagaimana dengan semua ini."
5728Please respect copyright.PENANAsfCoTRRBGd
Anisa menggenggam tangan Arifah erat-erat. "Aku ngerti, Rifah. Aku cuma nggak mau kamu merasa sendiri di sini. Aku harap kamu bisa sedikit mengerti gaya hidup kami."
5728Please respect copyright.PENANAN3cs0MPejy
Arifah mengangguk, meskipun hatinya masih terasa berat. "Aku coba, Kak. Aku coba mengerti."
5728Please respect copyright.PENANAQL7toQYPmt
Anisa tersenyum, menepuk bahu adiknya dengan lembut. "Kamu adalah adik terbaik yang pernah ada, Rifah. Aku janji akan coba lebih mengerti perasaanmu juga."
5728Please respect copyright.PENANAfIzsA7FOqV
Arifah tersenyum, meskipun air mata masih menggenang di matanya. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi ia juga tahu bahwa ia memiliki kakak yang mencintainya, meskipun mereka sekarang menjalani kehidupan yang sangat berbeda. Dan mungkin, dalam perbedaan itu, mereka bisa saling belajar dan mendukung satu sama lain, apa pun yang terjadi.
5728Please respect copyright.PENANAAQNs9SJ2of
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Arifah perlahan mulai menerima kenyataan baru dalam hidupnya. Setiap pagi, ia terbangun dengan semangat untuk menyesuaikan diri, meski dalam hatinya tetap ada rasa rindu pada kehidupan sederhana di kampung halaman. Di Jakarta, segalanya bergerak lebih cepat—dari gaya hidup hingga pola pikir—dan Arifah berusaha memahami bahwa meskipun berbeda, itu tidak berarti salah.
5728Please respect copyright.PENANA5JIYBjWh5K
Anisa, Dewi, dan Intan menjalani kehidupan yang penuh kebebasan. Mereka bekerja keras di siang hari dan sering bersenang-senang di malam hari, keluar ke kafe, atau sekadar nongkrong di rumah bersama teman-teman. Arifah, yang selama ini dibesarkan dengan nilai-nilai tradisional, merasa dunia ini asing. Namun, ia mulai memahami bahwa setiap orang punya caranya sendiri dalam mencari kebahagiaan dan menjalani hidup.
5728Please respect copyright.PENANAADmhbxsmsq
Sikap terbuka dan ramah dari kakaknya dan teman-temannya membantu Arifah untuk tidak terlalu terbebani oleh perbedaan nilai. Arifah menyadari bahwa ia tak harus selalu menilai gaya hidup orang lain, dan bahwa yang terpenting adalah tetap menjadi dirinya sendiri.
5728Please respect copyright.PENANAj8xN2LfdPB
Di sela-sela kesibukannya menyesuaikan diri, Arifah juga mulai memikirkan masa depannya. Ia menyadari bahwa biaya untuk kuliah terlalu besar, dan gaji Anisa hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari mereka. Setiap malam, setelah kakaknya dan teman-teman sekontraknya tidur, Arifah sering membuka website di ponselnya, mencari informasi tentang lowongan pekerjaan. Ia tahu bahwa di kota besar seperti Jakarta, bekerja adalah satu-satunya jalan untuk membangun kehidupan yang lebih baik.
5728Please respect copyright.PENANACaSmdTu1yM
Arifah memutuskan untuk melamar pekerjaan apa saja yang sesuai dengan kemampuannya. Meskipun tidak memiliki pengalaman kerja, ia optimis bahwa ia bisa belajar. Ia melamar ke berbagai tempat—mulai dari kasir di pusat perbelanjaan hingga pekerjaan administrasi di kantor-kantor kecil. Ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi tekadnya untuk berdiri di atas kakinya sendiri semakin kuat.
5728Please respect copyright.PENANAhu5WdltByO
Suatu sore, saat sedang mengisi formulir lamaran kerja online, Dewi mendekat dan melihat layar ponsel Arifah. “Kamu lagi cari kerjaan, ya, Rifah?” tanyanya dengan nada penuh perhatian.
5728Please respect copyright.PENANAt8yVWaOREk
Arifah mengangguk. “Iya, Kak. Aku nggak bisa terus-terusan ngandelin Anisa. Kuliah juga nggak mungkin, jadi aku harus cari kerja.”
5728Please respect copyright.PENANAfOTbXLPo9b
Dewi tersenyum, menepuk bahu Arifah lembut. “Kamu hebat, Rifah. Di usiamu, kamu udah tahu apa yang kamu mau. Jangan khawatir, di Jakarta banyak peluang. Asal kamu tekun, pasti dapat.”
5728Please respect copyright.PENANATui782RnEm
Kata-kata Dewi itu memberi Arifah sedikit semangat. Meski jalannya penuh tantangan, Arifah merasa bahwa selama ia tetap berusaha dan bertahan, ia akan menemukan jalannya sendiri di kota ini. Baginya, hidup di Jakarta mungkin tidak seindah bayangan, tetapi ini adalah awal dari perjalanan panjang yang penuh pelajaran dan kesempatan.
5728Please respect copyright.PENANArfilUkxNqB
Suatu malam, ketika Arifah sedang duduk sendirian di sofa, Anisa duduk di sampingnya.
5728Please respect copyright.PENANAQeNtV5cjSF
"Rifah, kamu kelihatan lebih tenang sekarang," kata Anisa sambil menatap adiknya dengan penuh kasih.
5728Please respect copyright.PENANAC7LEL9WqX7
Arifah tersenyum kecil dan mengangguk. "Iya, Kak. Aku sudah mulai terbiasa dengan keadaan di sini. Aku sadar bahwa setiap orang punya pilihan hidup masing-masing. Mungkin aku tidak sepenuhnya mengerti, tapi aku mencoba untuk menerima."
5728Please respect copyright.PENANAFWo6ws7Kd3
Anisa tersenyum lega. "Aku senang mendengarnya. Aku tahu ini pasti berat buat kamu. Aku juga berusaha untuk lebih sensitif terhadap perasaanmu."
5728Please respect copyright.PENANAtWa9vUEfdx
Arifah mengangguk. "Aku mengerti, Kak. Mungkin awalnya sulit, tapi sekarang aku merasa lebih bisa memahami. Lagipula, kalian semua sangat baik padaku dan selalu mendukungku. Aku merasa beruntung punya kakak seperti kamu."
5728Please respect copyright.PENANAbRnvNfpniy
Anisa tertawa kecil dan memeluk Arifah. "Dan aku beruntung punya adik seperti kamu, yang bisa memahami meskipun mungkin ada banyak hal yang berbeda dari yang kamu yakini."
5728Please respect copyright.PENANAkxhbC63L0u
Malam itu, ketika Anisa kembali ke kamarnya, Arifah merenung sendirian di ruang tamu. Ia tahu bahwa kehidupan tidak selalu hitam dan putih. Di kampung halamannya, segala sesuatu tampak lebih sederhana, tetapi di Jakarta, ia belajar bahwa hidup penuh dengan nuansa dan pilihan-pilihan yang rumit. Meskipun masih ada hal-hal yang tidak sepenuhnya ia pahami, ia merasa bahwa dirinya tumbuh menjadi lebih dewasa.
5728Please respect copyright.PENANAFkCK2mZzZe
Beberapa minggu kemudian, ketika Dewi dan Intan duduk bersama Arifah di ruang tamu, mereka mulai berbicara tentang berbagai hal, termasuk tentang pacar-pacar mereka dan pengalaman mereka di Jakarta. Arifah mendengarkan dengan penuh perhatian, mencoba memahami perspektif mereka.
5728Please respect copyright.PENANAXfZFNhDsnn
"Rifah, kamu tahu kan kalau aku sering bawa pacar ke sini," kata Dewi dengan senyum canggung. "Aku harap itu nggak bikin kamu nggak nyaman."
5728Please respect copyright.PENANAnNUjx1BF6i
Arifah tersenyum lembut. "Iya, aku tahu, kak Dewi. Awalnya memang terasa aneh, tapi aku sekarang sudah mengerti. Ini adalah kehidupan kalian, dan aku nggak punya hak untuk menghakimi."
5728Please respect copyright.PENANAACYvHe2zF5
Intan menatap Arifah dengan mata penuh penghargaan. "Kamu benar-benar dewasa, Rifah. Aku tahu pasti nggak mudah buat kamu, tapi kamu tetap berusaha memahami kami."
5728Please respect copyright.PENANAwEG8bzuT3A
Arifah tertawa kecil. "Aku hanya berusaha menjadi lebih baik. Lagipula, kita semua kan tinggal bersama. Aku mau kita semua merasa nyaman di sini."
5728Please respect copyright.PENANATRAIfOPFVa
Percakapan itu berakhir dengan tawa dan cerita-cerita ringan. Meskipun hidup di Jakarta terus memberikan tantangan, Arifah merasa bahwa ia menemukan kekuatan dalam dirinya untuk menerima perbedaan dan belajar dari orang-orang di sekitarnya. Ia tidak perlu merubah siapa dirinya, tetapi ia bisa belajar untuk lebih memahami orang lain, bahkan ketika mereka memilih jalan yang berbeda.
5728Please respect copyright.PENANAF6NDvCNVNN
****
5728Please respect copyright.PENANAW2TIwEbdXy
Malam itu, suasana rumah kontrakan terasa lebih hening dari biasanya. Arifah tidur di kamar Dewi, sementara Dewi memutuskan untuk menghabiskan malam bersama kekasihnya di ruang tamu. Arifah sudah terbiasa dengan perubahan-perubahan ini, meski kadang ia masih merasa canggung.
5728Please respect copyright.PENANAWDCGC0aGGa
Jam menunjukkan pukul dua pagi ketika Arifah terbangun. Ia merasakan haus yang menyengat di tenggorokannya. Dengan pelan, ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke pintu kamar Dewi. Ketika hendak membuka pintu, langkahnya terhenti oleh suara-suara lembut yang berasal dari ruang tamu.
5728Please respect copyright.PENANA2hc1Ii5O8v
Arifah merasa ragu sejenak, tetapi rasa ingin tahunya mengalahkan kebimbangannya. Ia membuka pintu sedikit, cukup untuk mengintip ke luar. Dari celah pintu, ia melihat Dewi dan kekasihnya duduk di sofa, saling berbisik dan tertawa pelan. Arifah merasa sedikit canggung, tetapi kemudian matanya tertuju pada pemandangan yang membuatnya terpaku.
5728Please respect copyright.PENANAmYwr4KzD6j
Dewi dan kekasihnya mulai berciuman dengan mesra, gerakan mereka semakin intens dan penuh gairah. Arifah tidak pernah melihat sesuatu seperti ini sebelumnya. Meskipun ia tahu apa yang sedang terjadi, melihatnya langsung dengan mata kepala sendiri adalah hal yang berbeda. Rasa penasaran dan terkejut bercampur menjadi satu, membuatnya tak mampu mengalihkan pandangannya.
5728Please respect copyright.PENANAlcjr0QczEV
Arifah menahan napas, jantungnya berdebar-debar lebih cepat. Ia tidak tahu harus bagaimana, tetapi pemandangan itu membuatnya terpaku di tempat. Ia merasa salah untuk terus melihat, namun rasa penasaran yang menggelitik hatinya membuatnya tetap diam di tempat. Dewi dan kekasihnya tidak menyadari keberadaan Arifah. Mereka tenggelam dalam momen mereka, dengan gerakan yang semakin intim.
5728Please respect copyright.PENANAoVzLWx0Nx1
Di dalam kamar, Arifah bergumul dengan perasaannya. Ia merasa tidak seharusnya melihat, tapi ada sesuatu yang baru dan aneh dalam dirinya yang membuatnya sulit berpaling. Ia belum pernah merasakan sesuatu seperti ini sebelumnya—sebuah tarikan kuat antara ketidaktahuan dan keinginan untuk mengetahui lebih banyak.
5728Please respect copyright.PENANA7WeofY957B
Beberapa menit berlalu, dan akhirnya Arifah menarik diri dari pintu, menutupnya perlahan tanpa suara. Ia kembali ke tempat tidur dengan hati yang berdebar dan pikiran yang kacau. Pengalaman itu meninggalkan kesan mendalam dalam dirinya, mengguncang dunianya yang selama ini sederhana dan polos.
5728Please respect copyright.PENANArZIMwFjSZN
Di tempat tidurnya, Arifah berbaring dengan mata terpejam, tetapi pikirannya masih sibuk dengan apa yang baru saja ia lihat. Perasaan bingung dan penasaran bercampur aduk di hatinya. Ia tahu bahwa apa yang ia saksikan adalah bagian dari kehidupan dewasa yang tidak pernah ia alami atau bayangkan sebelumnya.
5728Please respect copyright.PENANAOFBVJfo7IN
Sambil menarik selimutnya lebih erat, Arifah berusaha menenangkan diri. Ia mengingatkan dirinya bahwa ini adalah bagian dari kehidupan yang lebih luas dan beragam. Meski masih terasa asing dan mengejutkan, ia menyadari bahwa ini adalah bagian dari perjalanan barunya di Jakarta. Sebuah perjalanan yang perlahan mulai mengajarkannya tentang kompleksitas dunia yang lebih besar dari yang pernah ia kenal.
5728Please respect copyright.PENANAVT7uajK4mH
Dengan perlahan, Arifah menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Meski hatinya masih berdebar, ia mencoba menerima kenyataan bahwa kehidupan tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Dan di malam yang sunyi itu, Arifah menemukan dirinya mulai memahami bahwa dunia ini penuh dengan hal-hal baru yang menunggu untuk dieksplorasi, meskipun kadang membuatnya bingung atau penasaran.
5728Please respect copyright.PENANAvIzxEcwiDm
Sejak malam itu, ada sesuatu yang berubah dalam diri Arifah. Perasaan penasaran dan keterkejutan yang ia rasakan saat melihat Dewi dan kekasihnya bercinta di ruang tamu kini bertransformasi menjadi sebuah keinginan yang lebih kuat untuk memahami dan merasakan apa yang telah ia saksikan. Meskipun ia tahu bahwa apa yang dilakukannya adalah salah, Arifah tidak bisa menahan diri. Ia mulai terobsesi dengan momen-momen itu.
5728Please respect copyright.PENANAepI5T881yf
Malam-malam berikutnya, Arifah menjadi lebih waspada. Ia selalu memperhatikan saat Dewi atau Intan bersama kekasih mereka di rumah. Ada dorongan dalam hatinya yang membuatnya ingin mengintip lagi, mengamati apa yang mereka lakukan. Perasaan bersalah menyelimuti hatinya, tetapi rasa ingin tahu yang menggelitik mengalahkan semua itu.
5728Please respect copyright.PENANAwrSCr5ogCT
Satu malam, ketika Arifah sedang duduk di kamar sambil membaca buku, Anisa dapat giliran Shif malam di tempat kerjanya jadi dia aman dapat tidur tenang. Sayup-sayup dia mendengar suara tawa pelan dari ruang tamu. Suara yang begitu familiar, menggoda hatinya untuk keluar dan melihat. Dengan perlahan, ia meletakkan bukunya dan berjalan menuju pintu kamar. Jantungnya berdebar lebih cepat, seperti sebuah ritme yang tidak bisa ia kendalikan.
5728Please respect copyright.PENANA7z3NAucGXI
Ketika Arifah membuka pintu kamar sedikit, ia melihat Dewi dan kekasihnya sedang duduk di sofa, seperti malam itu. Arifah menelan ludah, merasakan kegugupan sekaligus kegembiraan aneh di dalam dirinya. Ia tahu bahwa ia seharusnya tidak melakukan ini, tetapi matanya tidak bisa berpaling.
5728Please respect copyright.PENANAWOwRTCkr8q
Dewi dan kekasihnya mulai saling berciuman, dan Arifah kembali merasakan tarikan kuat yang membuatnya tidak bisa mengalihkan pandangannya. Kali ini, ia memperhatikan dengan lebih seksama, memperhatikan setiap gerakan, setiap sentuhan, dan setiap bisikan di antara mereka. Ada sesuatu yang begitu menarik dalam cara mereka menyentuh satu sama lain, dalam cara mereka saling menatap dengan penuh cinta dan hasrat.
5728Please respect copyright.PENANA1HCxNMfzjM
Perasaan hangat menjalar di tubuh Arifah, membuatnya merasa aneh dan tidak nyaman sekaligus. Ia tidak mengerti mengapa ia begitu terpesona dengan apa yang dilihatnya. Ada rasa bersalah yang menghantam hatinya, tetapi rasa penasaran itu tidak kunjung hilang. Malam itu, Arifah kembali tidur dengan perasaan yang campur aduk, bergulat dengan emosi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
5728Please respect copyright.PENANABevHm8zjwj
Arifah menyaksikan dengan mata kepala sendiri Dewi dan pacarnya Bayu saling menelanjangi. Arifah yang polos bahkan belum pernah menonton film biru sekalipun. Tapi kini dia melihat adegan intim antar dua pasang kekasih secara langsung.
5728Please respect copyright.PENANANdPEHsPtKn
“Ohhhhh… iya Bay… masukan ahhhh… ya gitu!”
5728Please respect copyright.PENANAoW2L4s8cNM
Bersambung
ns13.58.65.3da2