Pria itu terbaring dengan luka-luka tembakan di seluruh badannya.
Mulutnya terus memuntahkan darah dan matanya yang sayu memandang langit kota yang dipenuhi kepulan asap.
Boomm!! Boomm!! Boomm!!
Suara ledakan dari tembakan artileri terus-menerus terdengar di sekitarnya.
Peluru-peluru dari tembakan senapan seolah menjadi instrumen pendukung untuk permainan musik berjudul ‘Pembantaian’.
“Haaahh.. Haaahh.. Uhukk.. Haaahh...”
Pria itu tidak berdaya saat melihat pesawat-pesawat bomber terbang dan menjatuhkan bom-bom mereka.
Di hatinya yang mungkin sudah berlubang karena peluru, terdapat suatu kebencian yang mendalam.
Sialan!! Sial!! Sialan kalian, Kerajaan Suci Vatihzan!!
Tak memiliki tenaga untuk berbicara, pria itu memilih mengutuk negara musuh yang menyerang tanah airnya di dalam pikirannya.
Tanah airnya adalah Kerajaan Gemina.
Dua tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1939 kalender Nascah, Kerajaan Suci Vatihzan yang memproklamasikan dirinya sebagai ‘negara yang dipilih oleh Dewa Nascah’ mengumumkan perang terhadap Kerajaan Gemina.
Alasan mereka memulai perang adalah untuk membersihkan Kerajaan Gemina yang dianggap sudah sesat dari agama Nascah.
Meskipun begitu, hampir seluruh rakyat Gemina paham betul kalau itu hanyalah sebuah alasan konyol.
Pada kenyataannya, Kerajaan Suci Vatihzan mulai khawatir dengan perkembangan ekonomi dan teknologi Kerajaan Gemina.
Bukan hanya rakyat Kerajaan Gemina saja yang mengetahui itu. Namun, hampir seluruh negara di planet Nasc juga memiliki kesimpulan yang sama.
Meskipun begitu, tidak ada satu negara pun yang berani menentang Kerajaan Suci Vatihzan.
Di dunia ini, seluruh makhluk hidup yang memiliki akal dan hawa nafsu mempunyai sesuatu kekuatan yang mereka bawa dari lahir.
Kekuatan itu disebut [Gift].
Terdapat banyak macam [Gift] yang dimiliki makhluk hidup. Misalnya, [Kekuatan Fisik Super], [Kecerdasan Super], [Memori Absolut], [Manipulasi Elemen], dan berbagai macam lainnya
Dan di Kerajaan Suci Vatihzan, banyak orang-orang yang memiliki [Gift] yang membuat mereka sangat kuat. Semua itu didukung dengan jumlah sumber daya alam yang melimpah.
Kualitas dan kuantitas terbaik dari sumber daya manusia dan sumber daya alam membuat Kerajaan Suci Vatihzan menjadi negara terkuat di seluruh planet Nasc.
Karena itulah, tidak ada yang bisa melawan Kerajaan Suci Vatihzan.
Dan mungkin juga karena itulah, warga negara Kerajaan Suci Vatihzan berani menyebut negara mereka sebagai ‘negara yang dipilih oleh Dewa Nascah’.
Namun meskipun nama negara itu memiliki kata [Suci], hal tersebut tidak bisa dikatakan sama untuk orang-orangnya.
Para eksekutif negara tersebut haus akan kekuasaan dan uang.
Mereka tidak ragu menjual nama Dewa Nascah untuk memperoleh banyak keuntungan, sama seperti apa yang mereka lakukan terhadap Kerajaan Gemina saat ini.
Walaupun begitu, Dewa Nascah terus memberkati orang-orang tersebut.
Saat itulah, pria itu merasa ada yang salah dengan Dewa Nascah.
Padahal banyak masyarakat Kerajaan Gemina yang menyembah Dewa Nascah! Tapi, kenapa?! Kenapa Kau menelantarkan mereka, Nascah!!!
Tidak ada lagi rasa hormat dari dirinya terhadap Dewa yang dikatakan menciptakan dunia.
Pria itu hanya merasakan kebencian. Sebuah kebencian yang mendalam terhadap Dewa.
Perlahan, pandangan pria itu menjadi gelap.
Dalam kegelapan itu, dia mengingat sosok kedua orangtuanya dan wajah adik perempuannya yang kini telah menjadi abu karena bom atom yang dijatuhkan Kerajaan Suci Vatihzan.55Please respect copyright.PENANAvZmtDYobQi
Di dalam kegelapan tersebut, dia juga melihat sosok rekan-rekannya yang telah gugur dalam pertempuran.
Aku akan membunuhmu!! Aku tidak peduli yang mana! Aku akan melenyapkan Dewa!!
Dengan kutukan untuk Dewa, Pria itu pun menghembuskan nafas terakhirnya.
“Hahaha! Benar-benar sebuah jiwa yang indah!”
Sebuah eksistensi yang tidak terklarifikasikan sebagai makhluk tertawa kegirangan setelah dia mencuri salah satu jiwa dari Nascah.
Sosok tersebut memiliki bentuk dan rupa yang sama seperti manusia. Wajah yang tampan dengan rambut hitam pendek dan mengenakan jubah merah yang dihiasi garment emas.
“Ah! Kau mencuri jiwa lagi! Apa yang kau rencanakan sekarang?”
Sosok berjubah merah tersebut menoleh ke arah sesosok perempuan cantik berambut biru panjang dengan gaun putih.
Dengan senyuman di wajahnya, sosok berjubah merah itu merespon,
“Aku rasa kau tidak perlu bertanya ‘kan, Aka-nee? Lagipula, kau mengetahui segalanya.”
Perempuan yang dipanggil Aka-nee meletakkan tangan di depan bibirnya dan tertawa kecil setelah dia mendengar respon tersebut.
“Ufufu. Kau benar-benar nakal, Nol. Setelah kau melenyapkan para [Liternas], kau menjadi sering mempermainkan dunia-dunia yang ada di seluruh Liternal. Oh! Aku merindukan adik kecilku yang manis! Kemana perginya Nol yang dulu bahkan kesulitan melawan [Liternal Beast] kelas B?”
Mendengar itu, wajah sosok berjubah merah bernama Nol menjadi merah sesaat.
“Kumohon, lupakan itu. Itu adalah masa lalu yang tidak ingin aku ingat, Aka-nee. Ngomong-ngomong, jika kau sudah kembali dari [Outer Liternal], itu berarti kau sudah mengurus [Liternal Beast] kelas EX yang mengamuk di sana ‘kan? Apakah ada masalah selama pembasmian?”
“Tidak ada masalah. Pada awalnya, aku terkejut karena binatang itu mampu melukai Yoh dan Azgul, yang merupakan eksistensi kuat di [Outer Liternal]. Namun ketika aku melawannya, ternyata binatang itu lemah. Apakah Yoh dan Azgul sudah melemah karena usia?”
“Aka-nee, Yoh dan Azgul adalah dua dari [Outer Liternas] di [Outer Liternal]. Mereka tidak memiliki konsep yang dinamakan usia. Tapi, terima kasih karena telah membantu mereka. Dengan begini, aku sudah membayar hutangku kepada mereka.”
Setelah selesai berbincang dengan Aka-nee, Nol kembali memfokuskan matanya ke arah sebuah jiwa yang ada di hadapannya. Lalu, Nol merentangkan tangan kanannya ke arah jiwa tersebut.
Cahaya biru dari jiwa tersebut perlahan tertarik dari substansinya dan membentuk sebuah bola cahaya biru yang melayang di tangan Nol.
Ketika bola di tangan Nol telah mencapai ukuran bola basket, warna dari jiwa tersebut berubah menjadi putih.
Setelah itu, Nol melambaikan tangan kirinya yang membuat jiwa putih itu kembali memiliki warna biru sebelum lenyap dari hadapannya.
Nol tersenyum ketika dia mengunci pandangannya ke bola cahaya biru yang ada di genggamannya.
“Persiapan telah selesai. Mengirimnya lewat ‘e-mail' tidak akan menarik. Aka-nee, tolong bantu aku.”
“Dengan senang hati.”
Aka-nee menggerakkan bola matanya menuju ruang kosong di hadapan Nol.
Seketika, Nol dan Aka-nee berpindah ruang.
Kini, mereka berada di sebuah kota medieval dengan nuansa yang kelam.
Di sekitar mereka, terdapat banyak manusia yang diam mematung seolah pergerakkan mereka terhenti akibat waktu yang tidak bergerak.
Tidak, waktu memang telah berhenti. Dan yang menghentikannya adalah Aka-nee.
Suasana di kota yang waktunya terhenti itu sangatlah ramai. Bukan karena festival atau perayaan, namun karena peperangan.
Para warga sipil berkumpul di alun-alun kota dengan mereka terkepung oleh lebih dari 500 prajurit.
Di jalanan kota terdapat banyak mayat yang terbaring dengan dilumuri darah.
Nol dan Aka-nee berjalan perlahan menuju kerumunan warga sipil yang wajah mereka dipenuhi ketakutan dan keputusasaan.
Di dunia dimana waktu berhenti berputar, Nol dan Aka-nee tidak perlu khawatir akan keterlembatan. Karena itulah, mereka dengan santai berjalan sambil melihat-lihat pemandangan dan bercengkrama.
Bahkan, Nol berjalan sambil melempar-lempar bola cahaya biru yang ada di tangannya ke udara.
Tujuan mereka berada di tengah kerumunan warga sipil yang menyedihkan.
Karena itulah, mereka terus berjalan dan menembus semua ‘halangan’[1] yang ada di sekeliling mereka.
Hingga akhirnya, mereka sampai di tujuan.
Di hadapan mereka, berdiri seorang anak laki-laki berusia 10 tahun dengan rambut pirang dan mata merah.
Wajah anak itu sangat indah dan tidak diragukan lagi dia akan tumbuh menjadi pria yang sangat tampan di masa depan.
Namun saat ini, wajahnya yang indah tersebut menampakkan ketakutan dan kesedihan yang mendalam.
Meski begitu, Nol tidak peduli dan mengarahkan bola cahaya biru di tangannya ke arah kepala anak itu.
Bola cahaya biru tersebut pun dengan cepat memasuki kepala anak itu tanpa terhambat sedikit pun.
Setelah itu, Nol meletakkan tangan kanannya di kepala anak itu dan mengusapnya secara lembut.
Nol pun tersenyum.
Senyuman yang terpancar di wajahnya sangatlah menawan bagaikan matahari yang menerangi pagi yang indah.
Setelah puas mengusap kepala anak itu, Nol mengarahkan senyumannya kepada Aka-nee sambil berkata,
“Semua telah siap, Aka-nee. Sebelum kita menikmati ceritanya setelah ini, bagaimana kalau kita menonton kehidupan anak ini mulai dari kelahirannya sampai saat ini?”
Aka-nee hanya merespon Nol dengan anggukan dan senyuman indah.
Saat Nol dan Aka-nee menghilang, waktu pun kembali bergerak.
Bersambung
Catatan:
[1]: Halangan yang dimaksudkan adalah apa saja. Baik itu manusia, zirah, senjata, perisai, batu, dan bangunan. Karakter bernama Nol dan Aka-nee dapat menembus zat-zat bersifat padat.
ns18.216.94.79da2