
Setelah memastikan barang bawaannya lengkap tanpa ada yang tertinggal, Khairunniswah dengan cekatan menutup rapat resleting tas ranselnya. Tas berwarna cokelat muda sesak dengan pakaian dan keperluan pribadinya sebagai seorang perempuan — mulai dari sikat gigi, perlengkapan mandi, hingga beragam produk skincare yang tak pernah lepas dari rutinitasnya. Matanya memandang jam digital pada layar ponselnya, hatinya sedikit bergetar, "Beberapa menit lagi, seharusnya sudah sampai," bisiknya pelan. Ia bangkit lalu menghadap cermin kecil yang tergantung di dinding. Dengan gerakan lembut, ia mengenakan cadar bandana yang menutupi sebagian besar wajah cantiknya, meninggalkan sepasang mata tajam yang berkilauan. Ia menambahkan sebatang kacamata hitam dengan bingkai sederhana, menambah kesan misterius namun tetap anggun pada sosok akhwat bercadar itu. Sekitar sebulan lalu, kabar bahagia mengenai pernikahan kakaknya telah menyentak hatinya; saat itu juga ia mulai menyiapkan segala persiapan dengan rapi. Kebetulan, sekolah tempatnya mengajar sedang diliburkan, membuatnya tak perlu mengambil cuti dan memudahkan perjalanannya pulang ke kampung halaman.
Suara mesin mobil yang meraung halus mulai memecah kesunyian sore. Khairunniswah menoleh cepat ke arah jendela, mencari tanda kehadiran sesuatu yang sudah ia nantikan. Benar saja, sebuah minibus kecil berwarna coklat tua melambat dan berhenti tepat di depan pintu kontrakannya. Dengan langkah mantap, ia membuka pintu dan melangkah keluar. Jilbab hitam lebar membalut tubuhnya, menutupi hingga setengah paha, dipadukan dengan gamis panjang bernuansa senada yang menjuntai anggun. Pintu samping sopir terbuka, seorang pria paruh baya sekitar 45 tahun keluar mengenakan kaos hitam, memperlihatkan kalung perak yang menghiasi lehernya, serta celana jins yang tampak lusuh. Tubuhnya kurus, tanpa satu otot yang tampak menonjol, menambah kesan lelah yang terpancar dari wajahnya. Setelah pria itu memasukkan tas ransel Khairunniswah ke bagasi mobil, ia kembali duduk di balik kemudi. Khairunniswah kemudian masuk ke dalam dan duduk di kursi bagian tengah, hampir menyentuh pintu di sisi kiri sopir. Ia memperhatikan dengan seksama penumpang lain yang sudah duduk di dalam: lima pria di kursi tengah, kebanyakan berusia sekitar 30-an, tubuhnya besar dan tampak sedikit menakutkan. Di kursi belakang, seorang lelaki tua berumur sekitar 60 tahun duduk khusyuk menatap layar ponselnya. Di sampingnya, dua pria muda lainnya memandang Khairunniswah dengan tatapan yang menusuk, seolah ingin menembus lapisan busana syar'i hitam yang ia kenakan. Matanya kemudian tertuju pada pria di dekat sopir yang mengenakan kalung stainless dan sedang menghisap rokok, asapnya berhembus ke belakang. Menyadari dirinya satu-satunya perempuan di dalam kendaraan ini, Khairunniswah menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri dan menerima kenyataan. Ia sadar risiko menggunakan travel seperti ini memang seperti ini adanya; tidak pernah tahu siapa yang akan berbagi ruang dengannya. Namun ia memilih untuk tetap berpikir positif, berharap tak ada hal buruk yang terjadi.
Angkutan travel itu mulai melaju meninggalkan kontrakan kecil di sudut gang yang selama ini menjadi tempat tinggal Khairunniswah. Suara dentuman musik house mulai mengalun dari speaker mobil, mengisi ruang sempit di dalam kabin. Khairunniswah, yang sejak lama tak terbiasa dengan musik keras, mulai merasakan kepala berdenyut sakit. Ditambah lagi asap rokok dari penumpang yang duduk di depan terus-menerus berhembus ke arahnya, meskipun wajahnya tertutup cadar, bau asap itu tetap merasuki inderanya. Ia menahan rasa pusing dengan memusatkan pandangannya ke luar jendela sebelah kiri, memperhatikan deretan warung-warung sederhana, rumah makan Padang, tambal ban sepeda motor, dan rumah-rumah penduduk yang berganti-ganti seiring perjalanan. Setelah beberapa kilometer, mobil tiba-tiba berhenti di depan sebuah rumah yang dikelilingi hamparan sawah hijau di kanan dan kiri. Seorang pria berbaju kaos putih berjalan mendekat sambil membawa beberapa kardus yang diikat rapat dengan tali. Sopir segera turun, membuka pintu bagasi, dan dengan teliti meletakkan kardus-kardus itu.
"Aku benar-benar sendirian sebagai perempuan di sini," bisik Khairunniswah dalam hati, rasa sepi dan kerentanan menyelimuti dadanya.
Pintu di samping Khairunniswah terdorong terbuka, seorang pria berusia sekitar tiga puluh tahun masuk dan duduk di tempat di antara Khairunniswah dan pria yang duduk di sebelahnya. Dengan sopanairunniswah memiringkan tubuhnya agar pria itu bisa duduk dengan nyaman di kursi tengah.
"Maaf ya, Mbak, saya lebih suka duduk di dekat jendela. Kalau duduk di tengah saya biasanya cepat mabuk," ujar pria itu pelan, mencoba menjelaskan alasannya.
Khairunniswah memalingkan wajahnya ke pria yang duduk di sampingnya, berharap pria itu bersedia mengalah dan memberikan tempat duduknya bagi penumpang baru itu. Tapi pria itu tampak acuh tak acuh, matanya tetap terpaku pada layar ponsel dengan ekspresi dingin dan tak peduli. Dengan berat hati, Khairunniswah menggeser tubuhnya dan berakhir duduk di antara dua pria asing. Sepanjang perjalanan, ia berjuang keras untuk tidak terlelap. Sangat tidak nyaman baginya untuk tertidur saat dikelilingi pria yang tidak dikenal. Namun rasa lelah yang mendera tubuhnya tak dapat dibendung, hingga sesekali matanya terpejam dan terbuka kembali ketika mobil melewati lubang-lubang di jalan. Kadang-kadang, lengannya yang bergesekan dengan lengan pria di kanan dan kiri membangkitkan ingatan akan sebuah kisah erotis yang pernah dibacanya saat nafsu menguasai pikirannya. Sebuah cerita tentang seorang perempuan bercadar yang dilecehkan dan diperkosa dalam sebuah bus penuh sesak. Meski kini Khairunniswah tidak berada dalam bus seperti dalam cerita itu, suasana di dalam mobil ini membawanya kembali ke kenangan itu. Imajinasi itu membawa dirinya melakukan masturbasi diam-diam, membayangkan bahwa dialah perempuan dalam cerita yang tubuhnya digerayangi dan ditelanjangi oleh beberapa laki-laki di dalam bis tersebut. Vagina Khairunniswah berkontraksi, dan rasa sensasi aneh mulai merambat—sebuah perasaan yang tak mudah ia percaya dirinya rasakan.
"Ahh... mungkinkah ini aku terangsang karena suasana dan situasi seperti ini?" bisik Khairunniswah penuh kegelisahan.
Semakin lama perjalanan berlangsung, hasrat seksual Khairunniswah seolah membara tanpa kendali. Ia berusaha keras mengalihkan pikirannya ke hal lain, namun segala usaha itu sia-sia. Nafsu yang membara lebih kuat dari akal sehatnya, menguasai tubuhnya sepenuhnya meski dia menyadari kondisinya sangat tidak pantas. Nafasnya menjadi berat dan cepat, dada yang tertutup gamis hitam mengembang dan mengempis bergantian. Meskipun seorang akhwat bercadar dan aktif mengikuti pengajian, Khairunniswah tak dapat memungkiri dirinya punya gairah yang besar, hingga sering melakukan masturbasi diam-diam di dalam kamar kontrakannya. Naluri membimbingnya pada sebuah ide yang aneh tapi menggoda; perlahan dia memasukkan tangan ke dalam jilbab lebar yang menutupi wajah dan dadanya, membuka resleting gamis dan meremas payudaranya melalui sekat cup bra yang mulai mengeras. Tiba-tiba, pria yang duduk di sebelah sopir menoleh ke belakang membuatnya segera menarik tangan, jantung berdegup lebih cepat oleh rasa panik bercampur gairah. Dalam hati ia bertanya, "Bagaimana jika mereka tahu aku baru saja meremas payudara sendiri? Apakah mereka juga akan mulai menyentuhku? Atau bahkan memperkosaku bersama-sama?" Bayangan gelap itu membuat vagina Khairunniswah semakin basah, fantasi akan dirinya yang diperkosa beramai-ramai oleh penumpang lain mengisi pikirannya. Tanpa disadari, pria di sebelah kanannya merapatkan punggung sedikit maju ke depan, dan siku kiri pria itu secara tak sengaja menyentuh payudara kanan Khairunniswah. Dua jam sudah berlalu sejak perjalanan dimulai. Mobil travel itu pun masuk ke area SPBU, dan dorongan untuk segera buang air kecil yang mengganggu—disebabkan rangsangan yang baru saja ia berikan pada tubuhnya sendiri—memaksa Khairunniswah turun. Selain itu, ia juga perlu memperbaiki posisi bra-nya yang kaitannya mulai melorot.
"Permisi, Pak, saya harus turun sebentar," ucap Khairunniswah lembut kepada pria di sebelah kirinya, merasa canggung dan gugup sekaligus.
Bukannya turun, pria itu hanya menggeser sedikit posisi duduknya, membuat Khairunniswah harus menungging keluar dari mobil dengan susah payah. Ia harus berjaga-jaga agar jilbabnya tidak tersibak dan memperlihatkan resleting gamis yang sudah terbuka sampai setengah perut. Dengan langkah cepat dan penuh kekhawatiran, ia berjalan menuju kamar mandi wanita di area SPBU. Namun sayangnya, kedua pintu toilet perempuan dipasangi kardus bertuliskan 'RUSAK', membuatnya tak ada pilihan lain selain menggunakan toilet pria. Ia menoleh ke arah mobil yang masih mengantri dan kemudian melangkah pelan ke toilet pria yang terletak di sampingnya. Di dalam toilet terdapat tiga bilik dengan pintu aluminium berwarna merah. Dua pintu tertutup rapat, dan tanpa banyak pilihan, Khairunniswah masuk ke bilik ujung yang tidak terkunci, toilet duduk tersedia di dalamnya.
"Kenapa enggak bisa dikunci ya?" Khairunniswah berusaha menutup pintu toilet dan menguncinya, tapi berkali-kali percobaan selalu gagal. Pintu itu sedikit terbuka walau tak memperlihatkan dirinya secara langsung.
Tak tahan lagi, ia segera mengangkat rok gamisnya, namun malang tak dapat ditolak, air kencing keluar lebih dulu, membasahi celana panjang yang ia pakai di balik gamis. Syukurlah, air itu tidak merembes ke gamis, jilbab, kaus kaki, maupun sandal yang ia kenakan.
'Aduh, gimana nih? Masa aku harus tetap pakai celana yang basah ini? Pasti baunya nanti,' gumam Khairunniswah dalam hati.
Membingungkan, pikir Khairunniswah. Haruskah ia membuka bagasi dan mengambil pakaian ganti dari tas? Rasanya memang itu solusi terbaik. Dengan tekad, ia melepas celana panjang dan celana dalamnya yang sudah benar-benar basah. Ia memutuskan meninggalkan celana dalam itu di tempat sampah dalam toilet. Ketika mencoba memperbaiki bra yang melorot, ternyata bukan kaitannya yang lepas, tapi patah sehingga bra itu tak bisa dipasang kembali.
"Aku benar-benar harus mengganti pakaian," gumamnya dengan nada berat.
Dengan hati-hati, ia melepas gamis dengan cara meloloskannya ke bawah hingga tersangkut di pinggangnya, sementara jilbab dan cadar tetap menutupi kepala dan wajah. Selanjutnya dengan gerakan perlahan, ia membuka bra dan menggulungnya, menyimpannya di dalam celana panjang yang sudah dilepas kemudian diletakkan di atas sandaran toilet duduk. Saat hendak mengenakan gamis kembali, kenangan gairah yang sempat ia rasakan kembali menyeruak. Ini adalah pertama kalinya ia melepas pakaian di toilet umum, apalagi toilet pria. Nafasnya mulai memburu, dadanya sesak, dan vaginanya kembali basah. Bahkan dari balik pintu terdengar suara beberapa laki-laki di luar yang membuatnya semakin tergoda. Terpaut oleh gelombang syahwat, Khairunniswah meraba payudara dan meremasnya dengan pelan, menggigit bibir untuk menahan suara desahan. Tangan kirinya menyusuri perut hingga merayap ke vaginanya. Ia mulai mengejang ketika ujung jarinya lentik menyentuh klitoris. Betapa menggairahkan keadaan seorang perempuan hanya mengenakan jilbab, cadar, dan kaos kaki, bermasturbasi di dalam bilik toilet pria. Khairunniswah semakin intens merangsang klitoris dan mencubit lembut kedua putingnya secara bergantian. Ia berdiri bersandar pada dinding kabin toilet, kedua kaki terangkang seolah menantikan sentuhan penis. Desahan panjang mulai keluar tak terkendali, mengekspresikan kenikmatan syahwat yang sudah hampir memuncak. Tangannya bergerak makin cepat, menjepit keras payudara dan menekan klitoris dengan penuh nafsu. Orgasme sudah di ujung, dan ketika ia mempercepat ritme jari-jari, tiba-tiba pintu toilet terbuka. Khairunniswah terkejut, langsung menjulurkan jilbab menutupi tubuh hingga setengah paha dan menutup pintu dengan cepat. Perasaan panik dan cemas menghantui, ia buru-buru memperbaiki gamis yang hanya menutupi pinggang dan mengenakannya kembali. Dalam tergesa, resleting gamis di bagian dada rusak akibat cerobohnya.
"Aduh, gimana nih? Aku benar-benar harus ganti baju," ucap Khairunniswah sambil terengah-engah karena kepanikan yang masih menggelayut.
Dengan langkah tergesa, Khairunniswah berlari kecil menuju mobil travel yang masih terparkir. Betapa terkejutnya ia ketika mobil sudah kosong—sopir dan penumpang di sebelah sopir sudah pergi entah ke mana. Ia memilih menunggu di luar, namun hujan yang mulai turun deras memaksanya untuk kembali masuk ke dalam mobil. Ia menjaga jilbabnya rapat agar resleting gamis yang rusak tak terlihat. Hujan semakin deras, udara menjadi dingin dan lembap. Tidak lama kemudian, sopir beserta penumpang tadi berlari-lari kecil dan masuk ke dalam mobil. Panik menyergap Khairunniswah; ia sadar bahwa mereka baru saja keluar dari toilet. Ia menebak-nebak siapa yang membuka pintu toilet tadi—apakah salah seorang dari mereka, atau orang lain tak dikenal? Mobil mulai berjalan kembali meninggalkan SPBU, dan Khairunniswah baru menyadari bahwa celana panjang dan bra yang ia lepaskan masih tertinggal di dalam toilet. Ia tak sempat mengganti pakaian karena hujan yang tak kunjung reda.
Bersambung…
ns3.133.116.221da2