
Sabtu pagi dimulai dengan perjalanan panjang selama 15 jam yang membuat tubuh Baskara sudah terasa lemas. Ia pun tiba di sebuah kos yang diiklankan secara online. Sekilas, kos itu tidak menonjol keunggulannya; ruangan sederhana dengan fasilitas seadanya. Namun, mengingat anggaran yang terbatas, pilihan itu terasa pas. Saat ia mendekati gerbang, ia menekan bel kecil di pintu pagar, dan tak lama kemudian, seorang gadis muda keluar dengan langkah ragu.
Gadis misterius dengan logat medhok bertanya dengan gugup, “S-selamat pagi, ko. Ini ko Baskara, ya?”
Baskara yang masih bergidik karena perjalanan melelahkan hanya mampu mengiyakan dengan lemah: “Iya, baru sampai.”
Dengan senyum ramah dan gerak cepat, gadis itu mengulurkan tangan sambil berkata, “Mari, ikut sini. Aku bawa tasmu.” Meski Baskara menolak dengan sopan karena mengetahui betapa beratnya tas yang ia bawa, gadis itu hanya tersenyum tipis dan terus melangkah, memimpin jalan ke dalam bangunan kos. Saat mereka memasuki lorong panjang dengan dua puluh lebih kamar, gadis tersebut berhenti di depan pintu ujung. Dengan cekatan, ia mengambil kunci dan membuka kamar nomor 15 yang tak ber-AC, sambil menerangkan: “Ini kamar kamu, sudah aku ganti sprei-nya, bantalnya siap, dan listrik dihitung dari meteran yang ada di sini.” Setelah konfirmasi singkat, gadis itu memperkenalkan dirinya sebagai Basighah, namun ia membolehkan dipanggil Bas atau Basighah, sambil mengingatkan bahwa pembayaran sudah diproses oleh pihak ‘Cici’. Dengan langkah ringan dan sikap penuh perhatian, Basighah menghilang ke dalam lorong, meninggalkan Baskara dalam kekagetan dan keletihan yang belum sepenuhnya reda.
Begitu memasuki kamar, Baskara langsung rebah di kasur. Di balik kelelahan yang mendera, pikiran-pikiran gelisah tentang masa depan mulai menguasai, kuliah di kampus ternama Surabaya sudah menunggu, namun bagaimana caranya bertahan tanpa sepenuhnya bergantung pada santunan keluarga besar yang dermawan? Di tengah kebimbangan itu, tubuhnya menyerah pada tidur yang panjang, membuatnya tertidur selama hampir 12 jam, hingga terbangun di tengah malam dengan kondisi basah karena terjaga oleh udara panas yang menerkam kamar kecilnya.
Tak lama kemudian, suara ketukan halus di pintu kamar memecah keheningan. “Ko, sehat ta?” tanya Basighah dengan nada khawatir, sambil mengulurkan piring kecil berisi nasi hangat.
Baskara mengangguk sambil tersenyum, “Iya, cuma kelelahan sama panasnya Surabaya.” Meski terdengar basa-basi, perhatian Basighah seakan menyinari kamar yang suram itu. Ia kemudian menyarankan agar Baskara makan bersama di ruang makan yang terletak di seberang kamar, sebuah ruangan sederhana yang ternyata menjadi tempat pertemuan kecil penghuni kos, walaupun jumlahnya kian berkurang karena beberapa teman rencananya akan segera pergi.
Di sela-sela obrolan, Basighah menceritakan bahwa ia baru satu tahun bekerja di kos tersebut, berasal dari Jember. Sementara Baskara mencoba menyimak cerita itu, pikirannya tak bisa sepenuhnya menyingkirkan rasa lapar yang tiba-tiba muncul. Namun, tak lama kemudian, pikirannya berkelana pada daya tarik fisik Basighah yang tertuang dalam bayangan samar-samar ketika gadis itu sibuk mencuci piring. Kulitnya yang keemasan, tubuh mungil dengan siluet menggoda, serta lengkungan tubuh di balik daster yang longgar, membuat fantasi-fantasi vulgar dan liar mulai menjengkelkan pikirannya. Setelah makan bersama, ketika Baskara mencoba mengejar sekilas informasi soal kuliah yang terabaikan dan mencari tahu tentang fasilitas WiFi yang dijanjikan, ia mendapati dirinya berada di tengah malam dengan pikiran yang semakin kacau. Di antara kerja lelah dan kesendirian di kamar yang kecil, rasa rindu pada kejadian seksual yang nyaris terlewat tadi pagi justru menggiringnya pada godaan terlarang: keinginan voyeuristik untuk mendengarkan bisikan mesra dari kamar sebelah.
Dengan hati berdebar dan langkah penuh rasa bersalah, ia mendekati dinding kamar, menempelkan gelas kaca demi meraih suara samar yang datang dari dalam kamar sebelah. Desahan halus yang terdengar seperti ratapan dan lirik-lirik erotis mengundang rasa penasaran, meski dinding yang tebal membuatnya terpaksa menyerah pada misteri yang tak bisa diuraikan. Sementara pikirannya melayang di antara kenangan seksualitas dan rasa kesepian, ia kembali memusatkan perhatian pada layar laptop tuanya. Pencarian melalui website dewasa memberinya hiburan sesaat, namun komentar dari salah satu penonton di video amatir secara tak sengaja membuka lembaran baru dalam benaknya. Sebuah komentar berbahasa asing menyatakan keinginan untuk melihat video dengan resolusi yang lebih tinggi, bahkan dengan janji pembayaran. Meski awalnya Baskara hanya mencubit rasa penasaran, pikirannya segera melayang pada ide ambisius: “Bagaimana jika aku membuat konten erotis sendiri?”
Dengan keterampilan coding dan editing video yang cukup mumpuni, ia membayangkan sebuah website landing page yang modern untuk menampilkan video-videonya, lengkap dengan galeri, kolom donasi, hingga jadwal live show. Namun, candaannya segera sirna ketika ia menyadari satu hal krusial: siapa yang akan menjadi bintang dalam kisah-kisah gelapnya itu? Hanya dirinya, dalam keadaan yang penuh gejolak dan rasa bersalah karena belum pernah mengalami seks yang sesungguhnya. Di tengah dilema tersebut, secara tidak sengaja pintu kamar kembali menemani, ketika Basighah muncul dengan membawa password WiFi di tangan, dan tak bisa dipungkiri pesona semilirnya kembali menyeruak. Ia mendekati Baskara dengan senyum manis, lalu kembali menuju ruang kerjanya di lantai dua yang berbeda demi menjaga privasi penghuni kos. Namun apa yang terjadi selanjutnya adalah serangkaian peristiwa tak terduga yang membuat semangat kreativitas dan ketegangan erotis semakin memuncak.
Sore harinya, saat Baskara sudah mulai merasa “Terbangun” kembali setelah pasang kipas angin sederhana di kamar yang dingin, ia memutuskan untuk mencari makan di luar. Tak sengaja, ia menemukan warung sate yang strategis, di mana ia bisa mengamati sekelompok anak muda yang tengah bermain basket di lapangan dekat situ. Dalam kerumunan itu, matanya tertuju pada seorang gadis pirang dengan jersey hitam yang memesona. Dalam heningnya waktu sambil menikmati sate, kekaguman terhadap kecantikan fisik sang gadis pirang tak mampu disembunyikan. Deskripsi tubuhnya yang proporsional, putingnya yang mencuat di balik kaos serinya, hingga pantat yang terlihat sempurna dalam setiap gerakan saat bermain, seolah menjadi pemandangan yang tak bisa dihapus dari benak Baskara. Ia pun berusaha menutupi tatapan larutnya dengan cepat, berharap tidak tampak terlalu jelas.
Tidak lama kemudian, gadis pirang tersebut bersama temannya menghampiri untuk sekadar menyapa, dengan nada yang sopan namun menggoda. Sebuah perbincangan singkat di warung itu mengundang senyum pahit sekaligus geli pada Baskara. Setelah selesainya santapan, ia segera kembali ke kos untuk kembali bertemu Basighah dan menebarkan kembali kehangatan di ruang makan, sambil menyembunyikan riak senyum geli tentang pengalaman di luar tadi. Malam menjelang dengan keheningan yang dipenuhi keraguan, namun ketidakpastian itu tak menghentikan keinginan Baskara untuk mengulik lebih jauh eksperimen yang baru saja dimulai. Ia membuka kembali situs dewasa yang sebelumnya menghempaskan viralitas video misteriusnya dan mendapati jumlah view mencapai angka yang luar biasa. Komentar-komentar yang mengalir bahkan mencatat ada yang menawarkan proposal dan pendanaan untuk konten baru. Rasa penasaran dan ambisi berbaur menjadi dorongan untuk mengeksplorasi sisi bisnis gelap yang selama ini hanya ia bayangkan di sela-sela mimpi.
Lewat obrolan di ruang digital, seorang username “D” muncul menawarkan pendanaan tanpa batasan namun dengan syarat risetnya harus sukses. Percakapan yang dimulai dengan nada bercanda itu perlahan berubah menjadi ajakan serius. Dengan keyakinan yang masih setengah ragu, Baskara membalas pesan tersebut dengan tawaran absurd $100.000 uang di muka, penuh dengan canda sekaligus rasa angkuh yang aneh.
Namun, tak lama setelah itu, rasa geli berubah menjadi ketakutan ketika pesan selanjutnya mengungkapkan ancaman: “Jangan pernah berpikir untuk kabur dengan danamu, aku tahu di mana kamu berada.” Pesan itu diakhiri dengan file dokumen yang memuat foto KTP dan identitas pribadi Baskara, mengonfirmasi bahwa ia telah memasuki wilayah yang jauh lebih berbahaya daripada yang ia bayangkan sebelumnya. Keesokan paginya, sinar mentari membawa suasana baru yang seakan mengaburkan ketakutan semalam. Dengan badan yang masih terbayang oleh mimpi buruk, Baskara keluar untuk mandi dan tak sengaja bertemu Basighah yang tengah membersihkan lantai di depan kamar mandi bersama rekan-rekan penghuni kos. Namun, ada satu pemandangan yang membuatnya terpaku: sosok Basighah tampak begitu menggoda dengan pakaian yang tergelincir, menampakkan lekuk tubuhnya yang sempurna.48Please respect copyright.PENANA9ZyPgWSi42
Dalam posisi bungkuk, Basighah menyapu lantai dengan gerakan ritmis yang seolah berbicara tentang gairah terpendam. Dengan keberanian yang terlilit dalam rasa bersalah, Baskara mendekat dari balik tirai jendela dan mulai merekam adegan yang menyita perhatiannya, tanpa menyadari bahwa setiap detik itu bisa mengungkap sisi intim dan raw dari sang gadis.
Adegan demi adegan terekam dengan jelas: bagaimana puting Basighah menyembul di balik kaos kuning oversize, cara tubuhnya bergerak lembut saat mengepel, bahkan tampak seulas bulu halus di sekitar bagian yang sangat privat. Rasa ngeri bercampur gairah memunculkan konflik dalam diri Baskara. Walaupun awalnya hanya didorong oleh dorongan voyeuristik, langkahnya berubah cepat saat ia sadar akan risiko yang ada. Namun, hasrat untuk menghasilkan karya video eksplisit yang berkualitas tampak sudah berakar kuat dalam benaknya. Setelah mengedit video tersebut dengan penuh cermat mengatur cahaya, menyempurnakan audio, hingga menambahkan sensor di wajah sang gadis, Baskara pun mengunggah hasil karyanya ke situs dewasa populer dengan judul “Asian Voyeurism – Real Scene, Amateur Video.” Video itu tiba-tiba meledak dengan view, mengumpulkan ratusan ribu penonton dalam hitungan jam. Komentar demi komentar pun berdatangan, mulai dari yang kagum hingga yang ingin tahu lebih banyak. Salah satu komentar menarik perhatian khusus: ada yang menawarkan proposal dan dana untuk pembuatan video selanjutnya.
Rasa penasaran mendorong Baskara untuk membuka jalur komunikasi dengan seorang pengguna bernama “D” Percakapan singkat yang awalnya terkesan iseng segera berubah menjadi dialog serius tentang “Riset” untuk mengkorup pikiran wanita dengan metode yang absurd dan ilmiah. Dalam sekejap, tawaran yang tak diduga itu menjalar ke dalam pikiran Baskara, membuatnya terjerat antara naluri bisnis dan ancaman yang menghantui. Dengan nada bercampur tertawa sinis dan kekhawatiran, ia menyetujui proposal tersebut tanpa benar-benar mengetahui hingga mana ia akan terjebak dalam permainan berbahaya ini. Saat itu, dengan identitas terungkap lewat dokumen pribadi yang dikirim oleh Donato, dunia Baskara berubah drastis. Ia kini berada di bawah bayang-bayang ancaman dan ekspektasi tinggi dari sosok misterius yang mengaku sebagai pendukung penuh risetnya. Di titik inilah, antara keinginan untuk sukses, kepergoknya identitas, dan harga mati nafsu voyeuristik, kisahnya pun memasuki babak baru yang penuh intrik, bahaya, dan ketidakpastian.
Di tengah kekacauan batin dan tekanan dari ancaman yang semakin nyata, Baskara menyadari bahwa setiap keputusan yang diambilnya sudah tidak lagi hanya soal mengejar ketenaran atau uang semata. Ia kini harus mencari celah untuk menyelamatkan diri dari cengkeraman Donato, sambil mencoba memahami betapa dalamnya kejatuhannya ke dunia eksplisit yang ia ciptakan sendiri. Perjalanan hidup di kos yang sederhana berubah menjadi arena pertarungan batin antara ambisi untuk sukses dan realita pahit dari risiko-risiko yang tak terduga. Sambil terus menyunting dan mengunggah video yang mendapatkan respon hebat, Baskara merasa seakan ia menari di atas tepi jurang yang rapuh. Setiap detik yang berlalu, baik dalam diam di kamar kecilnya yang dingin berkat kipas angin baru, ataupun keramaian di luar kos yang menyuguhkan pemandangan para gadis muda dan atletis, semakin mengaburkan batas antara dunia fantasi dan kenyataan yang mengancam.
Kisah ini, yang masih tersisa dengan banyak tanda tanya dan intrik, berakhir pada titik di mana Baskara harus memilih: apakah ia akan terus berjalan di jalan yang penuh bahaya dan kontroversi, ataukah ia akan berusaha bangkit dan mencari jalan keluar sebelum semuanya terlambat. Hingga di bab selanjutnya, bayang-bayang masa depan yang penuh ambisi, dosa, dan ancaman terus menghantui setiap langkahnya.
Bersambung…
ns3.149.229.173da2