Ruangan itu gelap. Cahaya masuk dari beberapa bangunan yang sudah terlihat runtuh. Baunya anyir khas darah. Ada beberapa kolam di sekitarnya dengan kran yang masih mengalir walau air sudah terisi penuh. Penerangannya terbatas, membuatku tak bisa melihat penuh seisi ruangan.
Aku mencari berbagai benda yang bisa digunakan sebagai alat penerangan. Ada korek api dan beberapa buah lampu minyak, cukup untuk menerangi seluruh ruangan. Aku memasang lampu minyak di setiap sudut ruangan. Terlihat beberapa benda yang sudah usang dan tua.
Aku melangkahkan kakiku berjalan melewati beberapa kolam yang ada. Banyak air yang menggenang, tingginya hanya sebatas mata kaki orang dewasa. Airnya keruh dan bau bercampur dengan warna darah yang merah. Semakin aku berjalan mencari jalan keluar, air yang menggenang itu semakin tinggi. Langkah kakiku terasa semakin berat.
Desiran angin terdengar begitu keras. Seseorang berbicara di samping telingaku, suaranya seperti bisikan. Semakin lama semakin kencang. Telingaku berdengung, aku segera menutup telingaku dengan tangan. Semakin lama dengungan itu berganti menjadi suara lirih seorang perempuan.
Bulu kudukku berdiri, suaranya sangat lirih Sampai seluruh tubuhku merinding. Aku berusaha membalikkan badanku. Berdoa semoga dia juga manusia sepertiku. Dugaanku salah, seorang perempuan berdiri di belakangku. Bajunya putih, rambutnya panjang menutupi sebagian ruas wajahnya. Semakin dilihat perempuan itu semakin aneh. Tubuhnya bergetar, bagian bawah perutnya mengeluarkan darah yang begitu banyak.
“To..to..tolong” suaranya lirih.
Tangannya mengacung ke arahku, darah yang keluar di bagian bawah perutnya semakin menggumpal. Aku mual melihatnya. “to..to.tolong” lirihnya. Semakin mundur ke belakang, badanku terbentur tembok. Aku Mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk senjata. Tak ada apa apa.
Aku berteriak semakin keras. Tangannya meraih leherku, mencekikku dengan keras. “to..to..tolong” dia tetap meminta tolong padaku. Aku menangis pasrah, berusaha menyingkirkan tangannya dari leherku. Kukunya masuk menembus kulit leherku. “Sakit..” aku mencoba berbicara. Dia melepaskan tangannya.
”to..tolong” suaranya lirih, memohon.
Aku berusaha menghindar darinya. Dia hanya menatapku dengan sebelah matanya yang hampir keluar. Aku menggeleng keras padanya “tidak, aku tidak bisa menolongmu” ucapku dalam hati.
60Please respect copyright.PENANAHyrkxWPUNU
:(60Please respect copyright.PENANA4psoyKX7E1
60Please respect copyright.PENANAowchuK69uT
Aku terbangun dari mimpiku. Tertegun dengan mimpi yang baru saja kualami. Mimpi yang sama dengan tiga hari terakhir. Perempuan itu, ada apa sebenarnya? Dia ingin meminta tolong padaku, tetapi terlihat begitu memaksa. Membuatku takut setengah mati. Aku turun ke dapur dan mengambil air minum. Menegaknya, mencoba menenangkan diri.
Sudah jam setengah lima, aku mengambil air wudhu kemudian menggelar sajadahku, Berdoa agar mimpi itu tidak datang kembali.
60Please respect copyright.PENANA7NBimFhDWD
BAB 160Please respect copyright.PENANA5hO0f2Dfez
60Please respect copyright.PENANA9zaVxf9IqW
Aku berangkat sekolah bersama Geesa. Biasanya kami berangkat sekolah dengan menggunakan sepeda. Sekolah kami tidak mengizinkan siswanya mengendarai motor. Karena sekolah menyediakan jemputan bagi siswa atau siswi yang letak rumahnya terbilang jauh dari sekolah.
“Lientha Ariesandy, dengarkan saya atau berdiri di belakang kelas sampai jam mata pelajaran saya selesai!” tegas Bu Eva.
“Lien, lu ditegur tuh sama Bu Eva” tegur Geesa Sambil menyenggol lenganku.
"iya Bu maaf, lain kali tidak saya ulangi” ucapku.
Aku kembali memperhatikan pelajaran yang disampaikan Bu Eva. Aku tetap mengerjakan tugas meski perempuan yang ada di mimpi itu terus mengusik pikiranku. Jam pelajaran terakhir selesai, jam setengah satu. Aku dan Geesa kembali pulang mengayuh sepeda.
“pulang lewat jalan depan aja yuk, aku mau liat katanya di sana ada rumah sakit yang sudah tidak terpakai. Warga bilang banyak kejadian aneh. Rumah sakitnya juga sudah tua” ajak Geesa.
“boleh, sambil refreshing sehabis pelajaran Bu Eva. Aku pusing sekali” jawabku.
Kami pulang melewati jalan depan. Rumah sakit itu memang sudah tidak terpakai. Plang namanya juga terlihat sudah usang. Rumah sakit veteran. Pantas saja dari tadi yang kulihat adalah para tentara yang mungkin meninggal dalam perang. Beberapa lewat silih berganti, dengan kondisi yang berbeda beda. misal tangan yang tinggal satu, darah di baju, atau parahnya ada yang menyeret kepalanya sendiri.
Sambil terus mengayuh, aku melihat sekeliling rumah sakit. Bangunannya sudah usang tapi masih berdiri kokoh. Di sampingnya ada tempat untuk menaruh beberapa ambulan. Di sana banyak para perawat hingga perempuan yang duduk di atas ambulan sambil menggoyangkan kakinya.
katanya, menjadi indigo itu menyenangkan. Aku harap mereka benar tapi kenyataannya tidak sesederhana itu. Aku melihat dunia seperti kalian, tapi juga sisi yang tak pernah kalian bayangkan. Kesenangan dan kesedihan bercampur jadi satu dalam diamku, semuanya berjalan beriringan bak air tumpah tanpa arah.60Please respect copyright.PENANAFw5jH6Y5x5
60Please respect copyright.PENANATJQoEg4dn8
60Please respect copyright.PENANAYmMorZew0y
60Please respect copyright.PENANA91Ic90Pxk0
BAB 2
Aku berangkat sekolah seperti biasa bersama Geesa. Bedanya, aku meminta untuk sarapan di depan sekolah. Pagi ini mama masak tahu dan aku tidak suka. Jadi aku memilih untuk makan bubur ayam bersama Geesa, walaupun sebenarnya aku memaksa. Toh, Geesa juga tidak keberatan.
Selama hampir enam belas tahun aku memang tidak pernah sendiri. Sekalipun orang lain melihat aku sendiri, kadang aku sedang bermain bersama dengan seseorang yang tak dilihat manusia lainya. Dan itu menyenangkan. Tapi tetap saja banyak orang yang berfikir bahwa aku aneh.
Sama seperti sekarang, aku duduk di belakang halaman sekolah. Tadi Geesa mengajakku ke kantin namun aku menolaknya. Bilang bahwa aku masih kenyang. Aku duduk sendiri sedari tadi. Masih memikirkan perempuan yang muncul dalam mimpiku lima hari terakhir.
Aku menghela nafas panjang ketika seorang perempuan duduk di sampingku. Pakaiannya khas anak Belanda. Bajunya, panjangnya seperempat dari mata kakinya, di bawah bajunya dihiasi renda dengan motif bunga. Wajahnya putih pucat, sedikit tertutup topi yang digunakannya. Rambutnya panjang coklat kepirangan ”cantik” batinku.
“Het is erg warm vandaag." Ucapnya
“Hah? Apa?” tanyaku yang tak mengerti apa yang dia ucapkan.
“siang ini sangat panas” jawabnya sambil tersenyum. “namaku Larry “ sambungnya.
“Lientha, biasa dipanggil Lien.” aku mengangguk mengiyakan jawabannya. Senyumnya manis, tatapannya teduh dan hangat.
Aku tetap diam tidak berani memulai percakapan denganya. Walaupun jujur, banyak yang ingin kutanyakan. Siapa tau dia juga bisa membantuku mengetahui perempuan yang ada di mimpiku. Bahkan aku ragu dia bisa berbahasa Indonesia. Walaupun barusan dia berbicara sangat lancar padaku.
“tanya saja jika ada yang ingin ditanyakan, jangan ragu. Siapa tau aku bisa membantumu. Ya, setidaknya tatapanmu mengatakan hal itu” katanya.
“yahhh, ada banyak yang mau ditanyakan sebenarnya. Siapa tau kamu tau dan bisa bantu aku” ucapku ragu.
“silahkan” tawarnya.
Aku tetap ragu ingin menanyakan hal ini padanya. Apalagi setelah lama aku tidak banyak lagi berinteraksi dengan mereka. Hal itu membuatku agak sedikit aneh. Tapi sepertinya dia baik. Dia kembali menatapku, menunggu aku memberinya pertanyaan.
“perempuan yang ada di mimpimu itu ya? Dia mengganggumu?” tanyanya.
“Kamu tau? Gimana bisa?” tanyaku tak percaya.
“Aku minta maaf sebelumnya, dia ibuku. Aku tidak tau harus bagaimana, sebelumnya ibuku juga banyak meminta tolong pada orang orang yang kebetulan juga sama sepertimu. Aku tidak tau apa yang selama ini membuatnya seperti itu” jelasnya.
“oh dia ibumu” aku mengangguk. “jujur dia menggangguku beberapa hari terakhir, membuatku tidur tidak nyaman, gelisah setiap ingin tidur, membuat hitam kantung mataku dan tidak fokus pada pelajaran” lanjutku.
“aku ingin meminta tolong padamu. Maaf jika aku tidak sopan, tapi sudah sejak lama aku melihatmu, aku sangat ingin berbicara denganmu. Ibuku dulu salah satu korban pembantaian para tentara Belanda, aku tahu itu. Ibuku menikah dengan orang Indonesia, dia dianggap menghianati bangsanya. Tak ada yang mendengarkan perkataannya, selain warga pribumi biasa. Keluarga ibuku memang keluarga terpandang di Belanda, jadi mereka merasa itu sebuah aib jika ibuku menikah dengan warga pribumi biasa. Aku ingin kamu dengarkan permintaan tolong ibuku, agar dia tidak mengganggu orang lagi” mintanya.
Dia tidak terlihat memohon namun wajahnya penuh denggan harapan. Aku ingin membantunya, tapi kejadian waktu ibunya mencekikku tak bisa kulupakan. Dari awal wajahnya menyiratkan kesedihan. Tatapannya yang teduh itu, aku tahu banyak rasa sakit yang coba dia sembunyikan.
“aku akan coba bantu Larry, sebisaku” ucapku meyakinkan.
Larry tersenyum, ingin memelukku. “terima kasih” katanya. Aku bilang padanya akan ada jam pelajaran lagi setelah istirahat. Dia bilang akan tetap tinggal, jadi aku segera pergi ke kelas.
Jika dilihat, kantong mataku memang semakin hitam. Aku rindu tidur dengan lelap. Bukan rasa gelisah Yang datang setiap malam. Aku rindu hidup dalam kenyamanan. Itulah mengapa mama tidak membolehkan aku terlalu sering berinteraksi dengan mereka. Jika sudah berhubungan, maka terkadang mereka akan meminta lebih dari kita.60Please respect copyright.PENANAoaG8fs8s1P
60Please respect copyright.PENANAhs1wFfDEBM
BAB 360Please respect copyright.PENANA3IJiXk4R9b
60Please respect copyright.PENANAPToshlkWAH
Hatiku enggan membantunya, tapi aku sudah terlanjur janji mendengarkan apa yang diminta ibunya. Toh, Dia juga sudah jujur perihal ibunya. Tapi ibunya selalu ingin membunuhku, dan itu membuatku resah setiap waktu. Suara suara yang lain masuk dalam Indra pendengaranku juga. Seolah tak berhenti. Terdengar Seperti kaset kusut jika kau tau.
“hihhhh....” aku melihat ke arah adikku yang sedang iseng menjahiliku.” diem bisa nggak? Itu temenmu suruh diem” lanjutku.
“Biarin aja, biar botak rambut kak Lien. Ditarik tarik sama temenku” ucapnya senang.
“Terserah, aku mau tidur. Nanti kalo kamu mau tidur tutup pintunya” ujarku.
Adikku memang sering kali jail padaku. Kami memang sama sama indigo. Tapi entah kenapa dia bisa punya banyak teman tak kasat mata. Sering kali temanya disuruh untuk membangunkanku, kadang mengintai di mana aku menaruh uang atau kadang mengikutiku jika aku sedang pergi.
Aku pergi kembali ke kamar, aku ingin tidur tapi takut bertemu dengan wanita itu. Ketika aku membuka kamar, ada sosok perempuan berdiri di atas ranjangku. Entah siapa itu. Aku berjalan mendekatinya, Tiba tiba sekeliling kamarku berubah menjadi tempat yang tak ku kenal.
“heii, kau akan membawaku ke mana? Enak saja langsung mengajakku, aku saja tidak mengenalmu” ucapku sedikit berteriak.
Tempat itu besar, penuh dengan beberapa orang tentara yang sedang berteriak. Sebagian menendangi barang barang. Sebagian lainya seperti hendak mencari sesuatu. Aku terkejut melihat salah satu tentara menyeret seorang perempuan lalu melemparnya di antara tentara lainya.
Aku seperti mengenal perempuan itu. Mirip Larry, sangat mirip. Apa mungkin dia ibunya. Jika dia ibunya, berarti aku sedang di tempat pemandian yang biasa muncul dalam mimpiku. Aku melihatnya dengan seksama, mendekati kerumunan itu agar terlihat jelas. Sekarang aku persis ada di hadapan mereka.
Menunggu apa yang akan mereka lakukan. Di luar dugaanku, ternyata mereka langsung memukuli wanita itu. Dia menangis sambil memohon agar tentara itu berhenti melakukanya. Tetap saja, tentara itu memukuli wanita di depannya. Aku refleks berteriak kencang. Air mataku mengalir begitu saja.
Wanita itu berdiri, mengambil barang yang bisa di jadikannya senjata. Ia mengambil sebilah kayu panjang lalu memukulnya ke kepala tentara tentara tersebut. Tentara yang tak terima kepalanya dipukul kayu pun menembak kaki sang wanita. Perempuan itu langsung jatuh tersungkur masih sambil memohon agar tentara itu melepasnya.
Tentara itu berteriak keras di depan wajahnya. Kemudian mencolok mata wanita itu dengan kayu yang dipegangnya. Aku berteriak amat keras “itu sakit” lirihku. Wanita itu masih melawan, air matanya mengalir bercampur dengan darah.
Aku menangis menjerit melihat semua kejadian yang terlihat begitu pedih. Aku menyumpah serapahi, menendang, memukul, tentara yang tak punya belas kasih. Darah yang mengalir dan menggenang begitu banyak. Bahkan membuatku merasa pusing dan mual.
Perempuan itu masih menangis, wajahnya terlihat lelah. Badanya sudah lemas kehabisan darah. Tentara itu masih saja menendang perempuan tersebut. Aku sudah lelah melihatnya, ingin segera mengakhiri perjalanan yang dimulai dengan sebuah kepedihan.
Aku berjalan mendekati perempuan itu, ingin memeluknya. Tentara tak punya belas kasih itu malah mengendong perempuan itu dan menaruhnya di salah satu kolam pemandian. Tentara itu menondongkan pistol dan menembaki kepala perempuan itu beberapa kali. Aku lemas melihatnya. Masih tak cukup, ia juga mengalirkan kran air. Dan meninggalkan kran dengan keadaan terbuka.
Aku berlari melihat perempuan itu sudah ditutupi air. Air yang mengalir Dari kolam tersebut menggenang hingga semata kakiku. Warnanya yang merah bercampur darah, juga bau anyirnya membuatku hendak muntah. Aku masih berdiri di depan kolam tersebut, menangis dan menjerit.60Please respect copyright.PENANAXXbspN0gi5
60Please respect copyright.PENANAGWGqr099Ho
:(
60Please respect copyright.PENANAle0sKCBEl3
60Please respect copyright.PENANAwiKgfHne99
Setelah kembali ke kamar, aku langsung memuntahkan semua isi yang ada di perutku. Perempuan yang tadi berdiri di atas ranjang ku hilang entah ke mana. Aku menghapus sisa air mata yang masih ada di pipiku. Berusaha melupakan kejadian yang baru saja terjadi.
Aku kembali bermimpi. Perempuan itu tetap datang meski telah menunjukkan cerita singkat hidupnya. Kini aku melihatnya, wajahnya yang tertutup separuh rambut itu ternyata untuk menutupi matanya yang tertusuk kayu. Aku tersenyum melihatnya. Tak lagi pergi ketika dia meminta tolong padaku.
Perempuan itu tetap dengan bajunya yang basah berlumur darah, tangannya yang tergenggam pernah untuk memukul para tentara itu dengan kayu. Aku melihat senyumnya yang tertutup sebagian lumpur. Dia berdiri mendekat ke arahku.
“apa yang bisa kubantu? aku akan membantumu sebisaku" ucapku.
“aku punya seorang anak perempuan, namanya Larry dan aku ingin kau menjaganya untukku. kau bisa?” mintanya.
Aku bingung ingin menjawab apa. Bagaimana dia bisa tidak bertemu dengan anaknya padahal mereka sudah sama sama di alam yang sama. Aku ingin bilang padanya jika Larry juga sudah meninggal. Tapi aku takut itu akan lebih menyakiti hatinya. Sudah cukup penderitaan yang tentara itu berikan padanya.
“aku akan coba menjaganya jika aku bertemu dengannya” kataku. Aku tersenyum melihatnya juga tersenyum. “senyumnya sangat mirip dengan Larry, cantik” batinku.
60Please respect copyright.PENANAZwk7kiaU3M
BAB 460Please respect copyright.PENANAZ0R81ztZqO
60Please respect copyright.PENANAX1dtSifpm6
Seperti biasa aku berangkat bersama Geesa. Kami makan bubur ayam di depan sekolah. Berhubung mama tidak masak pagi ini. Aku bercerita kepada Geesa tentang kejadian semalam. Geesa bilang dia memang menungguku cerita. Dia melihat perubahan kantung mataku yang semakin hitam dari hari ke hari.
“aku tau akhir akhir ini kamu jarang tidur, Bahkan semua orang juga tau” katanya.
Aku hanya membalasnya dengan sebuah senyum simpul. Jika dipikir pikir memang kantung mataku terlihat sangat hitam. Bahkan aku juga jarang menyelesaikan tugas sekolah satu Minggu terakhir.
Setelah selesai jam pelajaran ke dua, aku segera pergi ke halaman belakang sekolah. Aku mencari Larry. Aku memanggilnya, tapi dia tak kunjung datang. Aku menunggunya sembari duduk di bawah pohon jambu. Seseorang sedang bersenandung, suaranya lirih dari atas pohon jambu. Aku mencoba melihat ke atas, benar saja seorang perempuan duduk di atas pohon jambu.
“Larry!” panggilku.
“Oh hai, ada apa mencariku?” tanyanya
“Soal ibumu, dia meminta aku untuk menjaga anaknya” ucapku sambil tersenyum.
“Ahh, ibuku tidak tahu nasibku sama dengannya. Tidak apa, terima kasih sudah mau menolongku untuk mendengar permintaan ibuku” Larry tersenyum. “soal untuk menjagaku, tidak papa. Aku bisa sendiri di sini” lanjutnya.
“Tapi kau harus janji, kau bisa datang padaku kapan pun kau mau, jika kau sedang kesepian atau sedang sedih bisa datang padaku juga.” Aku tersenyum.
“Terima kasih Lientha, maaf jika sebelumnya aku merepotkanmu” ujarnya.
Aku mengangguk, senang rasanya bisa berteman dengannya. Bisa tertidur tenang dan nyaman setelah kejadian ini. Banyak yang bisa aku pelajari dari setiap kejadian yang datang. Dan sampai saat ini dia tetap menjadi sahabat terbaikku. Terkadang ia datang saat sedang kesepian. Kadang ia juga mengajakku untuk bermain berdua.
Sejak saat itu, aku sadar… kesepian hanyalah ilusi. Ada hal-hal yang tak bisa dilihat dengan mata, tapi bisa dirasakan dengan hati. Meski orang lain hanya melihatku duduk sendiri, aku tahu aku selalu punya teman yang setia menemani, dalam senang maupun sedih. Ia datang di saat-saat aku merasa runtuh, mengajakku tertawa ketika dunia terasa terlalu sunyi. Dari setiap kejadian yang datang, aku belajar bahwa kesendirian bukanlah akhir — itu hanyalah ruang untuk menemukan diri sendiri.
Jadi, jika kalian melihatku sendiri, percayalah… aku tak pernah benar-benar sendiri di dunia ini.
60Please respect copyright.PENANAlih74Iu9Wi
60Please respect copyright.PENANAD9v7RVGJ8e