Prolog
Ada momen dalam hidup yang nggak pernah benar-benar hilang. Bukan karena kita nggak mau melupakan, tapi karena kenangan itu sudah jadi bagian dari kita—seperti goresan di kayu yang nggak bisa dihapus meski waktu terus berjalan.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ3pXASFFFwz
Desi Wulandari. Nama itu selalu muncul di sudut hati Havis, meski bertahun-tahun berlalu. Kenangan mereka dulu, dari rebahan bareng sambil nonton TV, ngerjain tugas kuliah sambil saling goda, sampai momen-momen kecil penuh tawa—semuanya seperti potongan puzzle yang nggak pernah lengkap lagi.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡG2x57OZ8XY
Tapi cinta nggak pernah sekadar manis. Di balik tawa dan harapan, ada luka, ada perpisahan, dan ada keputusan yang terlalu berat untuk diambil. Havis masih ingat bagaimana ia berdiri di depan pintu rumah Desi, menatap wajah ayahnya yang dingin dan tak ramah. "Akhiri semuanya," kata itu seperti palu yang menghancurkan impian Havis untuk membawa hubungan mereka ke tahap yang lebih serius.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡqMfYD5RXTr
Namun, hidup nggak pernah berhenti di satu titik. Waktu terus berjalan, dan meski hati pernah terluka, Havis tahu satu hal: dia harus berdamai dengan masa lalu.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡFt7zg0EsYa
Tapi, siapa sangka, tiga tahun lalu, nama Desi kembali muncul di hidupnya. Bukan untuk membawa kabar bahagia, tapi dengan cerita penuh air mata dan luka yang baru. Hidup Desi diuji, dan di tengah kekacauan itu, ia memilih untuk kembali ke satu orang yang pernah ia percayai—Havis.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡnSjlxvwQWP
Dan di sinilah semua dimulai kembali.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡNZgzJUBXZm
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡw3KEzYlFa0
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ9L3UMRydHn
Bab 3: Ketika Waktu Mulai Menjauhkan
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡW7UeOn1QAo
Hubungan Havis dan Desi masih bertahan setelah penolakan ayah Desi. Tapi keduanya tahu, ada sesuatu yang berubah. Ketegangan itu terasa seperti dinding tak terlihat yang makin lama makin tebal di antara mereka.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ0CwlF11iEQ
Hari-hari yang dulu penuh tawa kini terasa lebih sunyi. Tugas kuliah, pekerjaan, dan rutinitas mereka masing-masing mulai mengambil alih waktu yang dulu mereka habiskan bersama. Intensitas pertemuan menurun drastis. Mereka masih saling BBM, tapi obrolannya nggak lagi sepanjang dulu. Kadang hanya pertanyaan standar: “Udah makan?” atau “Tugas lo udah selesai?”
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡgQRPLDJo4M
Havis berusaha untuk tetap seperti biasa. Dia mencoba bikin obrolan tetap hidup, mengirim lelucon receh seperti dulu, tapi respon Desi seringkali cuma pendek. Bukan karena dia nggak peduli, tapi karena dia sendiri terlihat kelelahan oleh situasi.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡWJbiF8Ohh4
Suatu sore, Havis memutuskan untuk berkunjung ke rumah Desi tanpa memberi tahu. Dia rindu momen-momen mereka dulu, saat semuanya terasa ringan. Tapi yang menyambutnya bukan Desi, melainkan ayahnya.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ8Ahm1E9LGZ
"Ada apa lagi kamu ke sini?" suara ayah Desi tegas, dingin, seperti palu yang memukul hati Havis.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡe0Uz2zaPPi
"Saya cuma mau ketemu Desi, Pak. Nggak lebih," jawab Havis dengan suara yang mencoba tetap tenang.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡSZ85dvnI7V
Ayah Desi memandang Havis lama, lalu menggeleng. "Kamu nggak perlu terus datang. Saya sudah bilang, akhiri semuanya."
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡhtostZPYRP
Havis tidak membalas. Dia hanya menunduk, berbalik, dan melangkah pergi. Di tengah jalan, dia berpapasan dengan Desi yang baru pulang dari tempat les.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ4Hggpmtl9u
"Vis, kamu ngapain ke sini?" tanya Desi, terlihat terkejut tapi juga bingung.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡeEnZXFqALH
"Rindu," jawab Havis singkat, senyumnya tipis. "Tapi kayaknya gue nggak boleh ke sini lagi."
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡeUMZCzZeS2
Desi menatapnya, dan untuk pertama kalinya Havis melihat rasa bersalah di wajah Desi. "Maaf, Vis. Aku beneran nggak tahu harus gimana," katanya pelan, matanya mulai berkaca-kaca.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡeqgD19vxbC
Havis hanya mengangguk, menahan semua rasa kecewa di dadanya. "Gue cuma pengen lo tahu kalau gue masih ada di sini," katanya sebelum pergi.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡhwk1hDcjql
Setelah itu, hubungan mereka benar-benar mulai terasa berbeda. Bukan hanya waktu yang makin terbatas, tapi juga energi untuk mempertahankan semuanya. Malam-malam mereka yang dulu penuh cerita kini berganti dengan jeda panjang.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡYmJkt4He2R
Sampai suatu malam, Havis mengumpulkan keberanian untuk bertanya.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡXjSAnmCIDv
"Des," katanya lewat BBM, "kita masih kayak dulu nggak sih?"
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ32Iio27n2h
Butuh beberapa menit sebelum Desi membalas. "Maksud kamu apa, Vis?"
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ2FxMAkW2v0
"Lo nggak ngerasa kalau kita makin jauh? Gue ngerasa kayak ada yang hilang dari kita."
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ0ryDlLHDSE
Pesan itu diikuti oleh keheningan yang panjang. Desi akhirnya membalas, "Aku juga ngerasa gitu, Vis. Tapi aku nggak tahu harus gimana. Aku capek sama semuanya."
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ1OQJVLCdyQ
Havis terdiam lama membaca pesan itu. Kata-kata Desi menusuk hatinya. Bukan karena dia marah, tapi karena dia tahu Desi juga merasa sama rapuhnya.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡiBqaFGlM6v
"Kalau lo capek, apa artinya gue di hidup lo sekarang?" tanya Havis akhirnya.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡILjsnaVEU0
Desi hanya menjawab, "Aku nggak tahu."
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡonnpvPcdoE
Dan seperti itu, semuanya perlahan memudar. Hari demi hari berlalu tanpa pesan, tanpa pertemuan. Sampai akhirnya, tanpa ada kata resmi, hubungan mereka benar-benar berhenti.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡOFZkpR7uqD
Setahun kemudian, saat rasa rindu mengalahkan egonya, Havis mencoba mencari Desi lagi. Dia bertanya ke teman-teman lama mereka, mencoba menemukan cara untuk menghubungi Desi. Tapi yang dia temukan justru sebuah fakta yang menghancurkannya lebih dalam.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡW6dURV1h69
Desi sudah bersama orang lain.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡzUkT4HrfNe
Foto mereka bersama terlihat di media sosial, dengan caption penuh kebahagiaan. Havis hanya bisa menatap layar ponselnya dengan senyum pahit. Dia nggak marah, nggak juga iri. Tapi ada rasa perih yang nggak bisa dia jelaskan.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡBvzFQOKCfj
Dia menutup ponselnya, menarik napas panjang, dan berkata pada dirinya sendiri, "Mungkin sekarang, gue yang harus belajar pergi."
Bab 4: Kembali ke Arah yang Tak Terduga
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡRKNreC9nyN
Tiga tahun setelah perpisahan yang perlahan, nama Desi Wulandari kembali muncul di layar ponsel Havis. Sebuah pesan singkat dari nomor yang tak pernah lagi dia lihat.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡP5TQm4mgKS
"Vis, boleh ngobrol?"
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ6xmiJqdKqO
Havis menatap layar itu lama. Ada rasa ragu bercampur penasaran. Kenapa sekarang? Kenapa setelah semua yang berlalu? Tapi akhirnya, jarinya bergerak untuk membalas.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡWmW6EmjNsR
"Tentu, Des. Ada apa?"
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjatPz4Prdg
Jawaban dari Desi tidak langsung datang. Beberapa menit berlalu, lalu akhirnya muncul.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ3Iy3FvDnJs
"Aku butuh tempat cerita. Hidup aku lagi berantakan, Vis."
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ3fQ7nhsJ3v
Havis tahu dia seharusnya berhati-hati. Tapi rasa peduli yang dulu ada—dan mungkin masih ada—membuatnya setuju untuk mendengar. Mereka akhirnya sepakat untuk bertemu di sebuah kafe kecil di pinggir kota, tempat yang cukup jauh dari keramaian.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡINiT42CrfN
Saat Desi muncul, Havis hampir tak mengenali sosoknya. Wajahnya tampak lebih dewasa, tapi matanya yang dulu bersinar penuh semangat kini terlihat lelah. Rambutnya tergerai rapi, tapi ekspresinya seperti menyimpan beban yang berat. Dia tersenyum tipis saat melihat Havis.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡb2ah4Qvtb3
"Vis," katanya pelan.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡd6yry0srlO
"Des," jawab Havis singkat, mencoba menahan gelombang emosi yang datang tiba-tiba.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ798qCerFeC
Mereka duduk berhadapan. Desi memesan teh hangat, sementara Havis hanya memilih air putih. Suasana canggung mengisi udara di antara mereka sampai akhirnya Desi mulai bercerita.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡvUM54wWfYp
"Aku nggak tahu harus mulai dari mana," katanya, menatap cangkir tehnya yang masih penuh. "Hidup aku nggak berjalan seperti yang aku kira."
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡf7fD5maSor
Havis mengangguk pelan, memberi ruang untuk Desi melanjutkan.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡYpp7xviEtm
"Pernikahan aku..." Dia berhenti sejenak, mencoba menahan air matanya. "Aku nggak bahagia, Vis."
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡHLjlkFSBLN
Havis terdiam. Dia tahu cerita ini tidak akan mudah didengar. "Apa yang terjadi?" tanyanya akhirnya.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡpJLk24Ced4
Desi menghela napas panjang. "Suamiku... dia ditangkap karena kasus narkoba. Semua orang tahu, Vis. Keluarga aku hancur, anak aku jadi korban."
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ4fn0YciiHv
Kalimat itu seperti pisau yang menusuk hati Havis. Dia tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya bisa mendengar saat Desi melanjutkan ceritanya.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡv88ULOr7cU
"Aku ngerasa sendiri, Vis. Aku nggak tahu harus gimana. Aku ngerasa... semua ini nggak akan terjadi kalau dulu aku nggak ninggalin kamu."
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡVSvUNwrrN4
Havis menatap Desi dengan mata yang penuh pertanyaan. "Apa maksud kamu?"
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡoy31GLTRbi
Desi menatapnya, air mata mulai mengalir di pipinya. "Kalau aku tetap sama kamu, hidup aku nggak akan seberantakan ini. Kamu selalu tahu cara buat aku bahagia. Tapi aku malah pilih jalan yang salah."
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡI8TWfDARp3
Kata-kata Desi membuat Havis terdiam. Ada rasa pedih mendengar dirinya disalahkan secara tidak langsung, tapi di sisi lain, dia juga merasakan kesedihan Desi.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ42YDUSOaKr
"Des, gue nggak tahu apa yang harus gue bilang," kata Havis akhirnya. "Tapi hidup lo adalah pilihan lo. Lo nggak bisa terus nyalahin diri lo atau orang lain."
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡY88qsM0Mjy
Desi menatap Havis lama, seperti mencoba mencari jawaban di matanya. "Kamu masih sayang sama aku, Vis?" tanyanya pelan.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡkBB7d9MTqV
Havis tertegun. Pertanyaan itu membuat dadanya sesak. "Des, ini bukan soal gue masih sayang atau nggak. Ini soal lo. Gue cuma pengen lo bisa berdiri lagi, buat lo sendiri, buat anak lo."
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡEMG6AhHX00
Desi terisak, menyembunyikan wajahnya di balik tangannya. Havis ingin mengulurkan tangan, ingin meyakinkannya bahwa dia nggak sendirian. Tapi dia tahu, ini bukan momen untuk membicarakan perasaan masa lalu.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡGbI42XwBRi
Hari itu, mereka menghabiskan waktu berjam-jam di kafe, berbicara tentang masa lalu, tentang penyesalan, tentang semua hal yang tak bisa mereka ubah. Havis mencoba memberikan dukungan semampunya, tapi di dalam hatinya, dia tahu: cerita ini belum selesai.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡKAaz8xBUcq
Saat Desi akhirnya pulang, Havis duduk sendirian di kafe itu, memandang cangkir kopi yang kosong. Dia menarik napas panjang, mencoba meresapi semua yang baru saja terjadi.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡpzZiLch5AT
"Kenapa harus gue lagi?" pikirnya pelan.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjJcrKDBuZN
Bab 5: Beban yang Tak Pernah Diminta
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡcD4OCNur6u
Hari-hari setelah pertemuan itu berjalan dengan rasa campur aduk di hati Havis. Desi mulai sering menghubunginya, lebih sering daripada yang dia duga. Awalnya hanya pesan singkat seperti, "Apa kabar?" atau "Gimana kerjaan lo, Vis?" Tapi perlahan, obrolan mereka berubah jadi percakapan panjang tentang kehidupannya yang penuh luka.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡMdY49v6lgM
Desi sering bercerita tentang suaminya yang kini di penjara, tentang perjuangannya membesarkan anak sendirian, dan tentang rasa kesepian yang terus menghantui. Havis mendengar semuanya dengan sabar, mencoba menjadi tempat dia bersandar, meskipun di dalam hatinya, dia tahu ini adalah beban yang berat.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡgblBl9MMq2
Suatu malam, Desi menelepon Havis. Suaranya terdengar serak, seperti habis menangis lama.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ5AJ8LXbJTX
"Vis, aku nggak tahu harus gimana lagi," katanya pelan. "Aku capek banget. Kadang aku mikir, apa hidup aku bakal lebih baik kalau dulu aku tetep sama kamu."
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡgd5eiUJwGM
Kata-kata itu membuat Havis terdiam. Dia menatap langit-langit kamarnya, mencoba merangkai jawaban yang tepat.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡw6fcdj3oCd
"Des," katanya akhirnya, "hidup lo sekarang memang berat. Tapi lo nggak bisa terus nyalahin masa lalu buat semua ini. Kita nggak tahu apa yang akan terjadi kalau kita tetap bareng. Yang jelas, sekarang yang penting adalah lo fokus buat bangkit."
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡZR0EShFBn2
Desi terisak di telepon. "Tapi aku ngerasa gagal, Vis. Aku bahkan nggak bisa jadi ibu yang baik buat anak aku."
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡO8q6zrkSpI
Havis menghela napas panjang. "Lo nggak gagal, Des. Lo cuma lagi diuji. Anak lo butuh lo, dan gue yakin lo lebih kuat dari yang lo pikir."
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡnWpxj6YKRP
Malam itu, mereka berbicara selama hampir dua jam. Havis mencoba menyemangati Desi, meskipun di dalam dirinya, ada rasa frustrasi yang mulai tumbuh. Dia peduli pada Desi, tapi dia juga tahu, dia nggak bisa terus menjadi sandaran tanpa batas.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡG1iGNKvW1I
Beberapa minggu berlalu, dan hubungan mereka semakin intens. Desi mulai membuka luka-luka yang lebih dalam, termasuk rasa penyesalannya yang mendalam karena memilih suaminya daripada Havis.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡIG6sZZfIrC
"Aku tahu aku nggak bisa balik ke masa lalu," kata Desi di suatu malam. "Tapi aku bener-bener ngerasa kehilangan kamu, Vis. Kamu satu-satunya orang yang selalu ngerti aku."
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡooM2zIsXKZ
Havis menatap layar ponselnya, membaca pesan itu berulang kali. Di satu sisi, dia merasa tersentuh. Tapi di sisi lain, ada rasa marah yang tak bisa dia jelaskan.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡJRyGrPdYjt
"Kalau gue satu-satunya yang ngerti lo, kenapa lo ninggalin gue dulu?" pikir Havis dalam hati. Tapi dia nggak pernah mengucapkannya. Dia tahu, kata-kata itu nggak akan membawa mereka ke mana-mana.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡc0VS0ihEP0
Hingga suatu hari, Desi menelepon Havis dengan nada yang lebih serius dari biasanya.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ8TeabhHtYJ
"Vis, aku mau coba rujuk sama suami aku," katanya tanpa basa-basi.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡSDi9R0FaLA
Kata-kata itu menghantam Havis seperti ombak besar. Dia terdiam beberapa detik, mencoba mencerna apa yang baru saja dia dengar. "Rujuk? Lo yakin itu yang terbaik buat lo, Des?"
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡSgLMoiDWEf
Desi menghela napas. "Aku nggak yakin. Tapi aku nggak mau anak aku kehilangan ayahnya. Kalau masih ada sedikit harapan, aku mau coba."
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡks59zr7bvy
Havis hanya bisa mengangguk pelan, meskipun Desi nggak bisa melihatnya. "Kalau itu keputusan lo, gue cuma bisa doain yang terbaik. Tapi lo juga harus siap sama konsekuensinya, Des."
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ5pEMCfYZbO
Setelah telepon itu berakhir, Havis duduk diam di kamarnya. Ada rasa lega, tapi juga luka. Dia tahu, hubungannya dengan Desi nggak akan pernah kembali seperti dulu.
Bab 6: Melepaskan yang Tak Pernah Mudah
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡWR9vf7DEUC
Setelah Desi memutuskan untuk mencoba rujuk dengan suaminya, Havis tahu waktunya untuk benar-benar melangkah mundur. Meski dia tidak pernah mengucapkannya, ada bagian dari dirinya yang merasa kosong. Seolah-olah semua usahanya untuk ada di samping Desi selama ini hanya menjadi bayangan yang akan perlahan menghilang.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡF1gzo1YtOq
Hari-hari berikutnya terasa berbeda. Desi tidak lagi sering menghubungi, dan Havis pun mencoba untuk tidak memulai percakapan. Bukan karena dia tidak peduli, tapi karena dia tahu, semakin dia terlibat, semakin sulit baginya untuk melepaskan.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡvFrkK3KUTy
Namun, dalam diamnya, ada malam-malam panjang yang penuh dengan pertanyaan. Apa dia sudah melakukan hal yang benar? Apa Desi akan benar-benar bahagia dengan keputusannya? Atau justru, dia akan kembali terluka?
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡYPOFL2Iii8
Havis mencoba mengalihkan pikirannya dengan bekerja lebih keras. Setiap hari, dia menyibukkan diri dengan rutinitas yang melelahkan, berharap rasa hampa itu bisa tertutup oleh kesibukan. Tapi nyatanya, saat malam datang dan semuanya sunyi, pikirannya kembali ke satu nama: Desi.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡSD0LYvHjAx
Suatu malam, Havis duduk di balkon rumahnya sambil memandang langit yang penuh bintang. Secangkir kopi hitam dingin di tangannya, dan gitar akustik tergeletak di sampingnya. Dia memetik gitar pelan, mencoba merangkai melodi yang mewakili apa yang dia rasakan.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡiFHLBf4T1I
"Mungkin kita terlalu percaya pada cinta yang tak sempurna.
Mungkin kita hanyalah dua hati yang terjebak dalam waktu yang salah."
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡMzIuF8Hw0O
Kata-kata itu keluar begitu saja, mengikuti petikan gitarnya. Havis tahu, dia tidak bisa terus-terusan hidup dalam bayangan masa lalu. Dia harus mulai menerima bahwa beberapa hal tidak akan pernah kembali seperti dulu.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡVFuWN9gxOO
Waktu berlalu, dan Havis perlahan mulai menemukan ritme hidupnya lagi. Dia bertemu orang-orang baru, menjalani hari-harinya tanpa ekspektasi. Tapi di sudut hatinya, ada doa kecil yang selalu dia panjatkan setiap kali nama Desi melintas di pikirannya:
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ303B44JUiY
"Semoga lo bahagia, Des, di mana pun lo berada. Meskipun gue bukan lagi bagian dari cerita lo."
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡXqIAJqUdwh
Suatu hari, Havis menemukan keberanian untuk menghapus pesan-pesan lama dari Desi di ponselnya. Itu adalah langkah kecil, tapi bagi Havis, itu adalah simbol bahwa dia siap untuk benar-benar melepaskan.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡkO2dsxA00d
Namun, meskipun dia berusaha melupakan, kenangan itu tidak akan pernah benar-benar hilang. Seperti melodi yang pernah dia mainkan di gitar, kenangan tentang Desi akan selalu menjadi bagian dari hidupnya.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡFivxtKoogn
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Havis merasa damai.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡMQxYRBLjG9
Bab 7: Menemukan Jalan yang Baru
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡz4hKWI637N
Waktu terus berjalan. Havis sudah tidak lagi memandangi ponselnya, menunggu pesan dari Desi. Tidak ada lagi rasa cemas atau harapan samar yang pernah mengisi hari-harinya. Sebaliknya, dia mulai menemukan kebahagiaan sederhana dalam hidupnya—dari pekerjaannya, musik yang dia mainkan, hingga pertemuan singkat dengan teman-teman lama.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡFRZNUo6ZmV
Namun, sesekali, bayangan tentang Desi masih muncul. Bukan sebagai luka, tapi sebagai kenangan yang membawa pelajaran. Havis tahu, dia tidak akan pernah benar-benar melupakan Desi, tapi dia juga tidak ingin terus hidup di masa lalu.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ6FGJdtqmX9
Suatu sore, Havis sedang duduk di taman dekat rumahnya, memetik gitar sambil menikmati udara segar. Dia memainkan lagu-lagu favoritnya, sampai tiba-tiba seorang anak kecil mendekatinya.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ0nzWI0RRm3
"Om, boleh aku dengerin?" tanya anak itu polos.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡGDwiHjmA8Z
Havis tersenyum dan mengangguk. "Tentu. Kamu suka musik, ya?"
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡW6dmCOtqIE
Anak itu mengangguk antusias. "Iya! Mama juga suka dengerin lagu."
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ80lzko4pbL
Sambil memainkan gitar, Havis bertanya, "Mama kamu di mana?"
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡEukNfnOkmz
Anak itu menunjuk seorang wanita yang berdiri tidak jauh, memperhatikan mereka dengan senyum lembut. Wanita itu melambaikan tangan, dan Havis membalasnya dengan anggukan kecil.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡpHiJmzFove
Ada sesuatu yang berbeda tentang pertemuan singkat itu. Wanita itu terlihat ramah, dengan aura yang menenangkan. Setelah beberapa menit, dia mendekati Havis sambil memanggil anaknya.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡU968Ha2XF3
"Maaf, anak saya ganggu, ya," katanya sambil tersenyum.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡviW1hldPdv
"Nggak apa-apa," jawab Havis, mencoba tetap santai.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡsoVoHmZcaD
Wanita itu memperkenalkan dirinya. Namanya Nadya. Percakapan mereka dimulai dari hal-hal ringan, tentang musik, taman, hingga cerita kecil tentang anaknya. Dalam waktu singkat, Havis merasa ada sesuatu yang hangat dalam cara Nadya berbicara—sederhana, tapi tulus.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡorN2r4BYKy
Hari itu berakhir dengan pertukaran nomor telepon, sesuatu yang tidak pernah Havis duga akan terjadi. Tapi dia tidak ingin terburu-buru. Dia tahu, semua hal butuh waktu.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡlO2jNnHBoc
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡJQnlwX4hrW
---
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡuKZGdGvjNg
Epilog: Melodi yang Tak Pernah Hilang
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡXwKFudFL4Z
Beberapa bulan berlalu, dan hidup Havis perlahan berubah. Pertemuannya dengan Nadya membawa warna baru dalam hidupnya. Mereka tidak langsung menjadi dekat, tapi setiap percakapan dan pertemuan kecil membangun rasa yang baru.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡKyOEFN8bDL
Di malam yang tenang, Havis duduk di kamarnya, memetik gitar sambil merenungkan perjalanan hidupnya. Dia menyadari, hidupnya penuh dengan melodi—beberapa lembut, beberapa keras, tapi semuanya adalah bagian dari cerita yang membentuk dirinya.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡZbZgM5hNMP
Desi akan selalu menjadi bagian dari lagu itu, sebuah bait yang pernah mengisi hatinya. Tapi sekarang, dia siap untuk melanjutkan ke refrain yang baru, dengan nada-nada yang belum pernah dia mainkan sebelumnya.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQGnaUFPPQP
Dan untuk pertama kalinya, dia tidak hanya merasa damai, tapi juga merasa benar-benar siap untuk melangkah ke depan.
160Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ952bItfODO
